MAKALAH
PELANGGARAN KODE ETIK OLEH
ANGGOTA LEMBAGA LEGISLATIF
(STUDI KASUS SETYA NOVANTO)
Diajukan untuk
memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat dan Etika Pemerintahan
Dosen :
Dr. Andi Tenri Sompa, S.IP, M.Si
Oleh
:
KELOMPOK LEGISLATIF 2
ALFIAN [2120421310014]
ANDYA AGISA [2120421320005]
INDRA GUNAWAN [2120421310007]
MELATI CHINTYA DEVI [2120421320019]
YESSI IRA NOVA [2020421320005]
PROGRAM
STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia
bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan
dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing
yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindungi tanpa merugikan
kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat.
Secara
umum dalam garis besarnya, etika atau etichs
merupakan salah satu cabang filsafat yang memperbincangkan tentang perilaku
benar (right), baik (good) dalam hidup manusia. Tujuan utamanya adalah
kehidupan yang baik (the good life)
bukan sekedar kehidupan yang selalu benar dan pernah salah.[1]
Namun dalam praktik, keduanya menyangkut substansi yang menjadi esensi pokok
persoalan etika, yaitu benar dan salah (right
and wrong), serta baik dan buruknya (good
and bad) perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Demikian pula dalam
pembahasan tentang etika, banyak tulisan untuk mudahnya menjelaskan tentang
berbagai persoalan etik dengan pendekatan benar-salah saja. Apalagi dengan
berkembangnya kecenderungan baru yang dinamakan gejala positivisasi etika
dimana perumusan tentang nilai-nilai etik dan standar perilaku ideal mulai
dituliskan dan dibangunkan sistem kelembagaan penegakaannya secara konkret
dalam praktik, menyebabkan pengertian orang akan etik itu tumbuh dan berkembang
menjadi seperti norma hukum juga, yaitu melibatkan pengertian tentang
benar-salah yang lebih dominan daripada pertimbangan baik-buruk.
Etika
itu lebih luas daripada hukum yang lebih sempit. Karena itu setiap pelanggaran
hukum dapat dikatakan juga pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar
etika belum tentu melanggar hukum. Jika etika diibaratkan sebagai samudera,
maka kapalnya adalah hukum. Itu sebabnya Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat
Earl Warren (1953-1969).[2]
Pernah menyatakan “Law floats in a sea of
ethics”, hukum mengapung diatas samudera etika. Hukum tidak mungkin tegak
dengan keadilan, jika air samudera tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan
baik. Karena itu, untuk mengharapkan hukum dan keadilan itu tegak, kita harus
membangun masyarakat yang beretika dengan baik.
Pasca reformasi Mei 1998 di Indonesia, kesadaran
untuk menuju demokrasi yang berbudaya semakin tinggi. Seiring perkembangan
tahap etika fungsional (functional ethics),
dimana sistem etika yang sejak awal abad ke-20 mulai dipositivikasikan dan
dikodifikasikan dalam bentuk kode etik. Sekarang mulai sungguh-sungguh dianggap
penting untuk ditegakkan secara konkret dengan dukungan infrastruktur
kelembagaan yang menegakkannya.
Lembaga
kekuasaan pelaksana kedaulatan rakyat di Indonesia diemban oleh delapan buah
organ negara yang mempunyai kedudukan sederajat yang secara langsung menerima
kewenangan konstitusional dari UUD 1945. Kedelapan organ tersebut adalah: (1)
Dewan Perwakilan Rakyat; (2) Dewan Perwakilan Daerah; (3) Majelis Permusyawaratan
Rakyat; (4) Badan Pemeriksa Keuangan; (5) Presiden dan Wakil Presiden; (6)
Mahkamah Agung; (7) Mahkamah Konstitusi; (8) Komisi Yudisial.[3]
Dari kedelapan lembaga tersebut, menurut teori Trias Politica dari Montesquieu
dapat dibagi menjadi tiga bidang kekuasaan, pertama yaitu lembaga legislatif
yakni kekuasaan untuk membuat undang-undang.[4]
Dalam konteks Indonesia dilakukan oleh DPR, DPD, atau MPR. Kedua yaitu lembaga
eksekutif atau pemerintah adalah lembaga yang bertugas untuk melaksanakan
undang-undang[5],
dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga adalah kekuasaan yudikatif
biasa disebut lembaga peradilan yaitu lembaga yang bertugas mengadili
pelanggaran terhadap undang-undang[6],
dilakukan oleh MA dan MK.
Kekuasaan
legislatif diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat merupakan konsekuensi
logis dari asas demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara, sesuai dengan
asas demokrasi, sumber kekuasaan negara adalah rakyat, oleh karenanya lembaga
perwakilan rakyatlah yang berhak menentukan arah kebijakan negara yakni dalam bentuk
pembuatan undang-undang.[7]
Kekuasaan
legislatif di Indonesia dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (yang terdiri
dari DPR-RI/Pusat, DPRD I/Provinsi, DPRD II/Kabupaten/Kota) dan Dewan
Perwakilan Daerah. Kombinasi antara DPR dan DPD disebut Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR). Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa
”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”[8]
Sebagai
lembaga perwakilan rakyat dan sekaligus merupakan lembaga pengemban amanat
demokrasi dan kedaulatan rakyat, DPR dituntut untuk mampu memperjuangkan
aspirasi rakyat, maka dari itu DPR mempunyai tugas, fungsi, wewenang dan
kewajiban yang harus dilakukan dan dipatuhi. Fungsi DPR yang demikian strategis
tentunya harus diimbangi dengan kualitas dari anggota DPR itu sendiri. Tidak
cukup jika anggota DPR itu berasal dari tokoh-tokoh terkenal dimasyarakat,
melainkan dia harus mempunyai sikap, perilaku, tata kerja, tata hubungan antar
penyelenggara pemerintahan dan antar anggota DPR maupun dengan pihak lain yang
berhubungan dengan kewajiban, larangan atau yang tidak patut dilakukan oleh
anggota DPR.
Dalam
rangka menjaga martabat, kehormatan, citra, kredebilitas anggota DPR dalam
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab kepada negara,
masyarakat serta konstituennya, masing-masing anggota dewan wajib mematuhi kode
etik dan tata tertib. Demi terlaksananya kepatuhan atas kode etik dan tata
tertib tersebut, maka DPR membentuk lembaga “Badan Kehormatan”. Badan ini
merupakan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang bersifar tetap.
Penegakan
etika bagi anggota DPR menjadi penting karena konstitusi telah memberikan
penguatan yang luar biasa bagi anggota DPR. Penguatan yang diberikan pasca
amandemen UUD 1945 tidak hanya dalam tingkatan konstitusi, melainkan praktik
ketatanegaraan. Perubahan radikal dalam amandemen tersebut membuat proses
politik di DPR menjadi dominan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sedari
mulai pembuatan UU, pengawasan atas pelaksanaan UU, penetapan anggaran, hingga
memberikan persetujuan agenda kenegaraan seperti menyatakan perang, membuat
perjanjian dan perdamaian negara lain hingga pengangkatan hakim agung membuat
peran kelembagaan DPR menjadi sangat vital.
Peranan
yang sangat vital tersebut jika tidak dibatasi dalam penegakan etika dapat
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karenanya, penegakan etika secara
kelembagaan merupakan faktor penting untuk menjaga keluhuran dan martabat
kelembagaan DPR. Dalam praktiknya, DPR telah bersungguh-sungguh untuk
mewujudkan keluhuran dan martabat sebagai Lembaga perwakilan rakyat, hal ini
dapat dilihat dari kesungguhan kelembagaan DPR untuk menegakkan kode etiknya
secara internal.
Etika
pejabat negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih mempunyai
kedudukan yang penting. Sebagai pedoman moral dalam menyelenggarakan tertib
pemerintahan, maka, etika pejabat negara menjadi rujukan dalam berperilaku
sehingga upaya menciptakan pemerintahan yang bersih pun akan lebih mudah
tercapai. Sebaliknya, pelanggaran terhadap etika tersebut akan memunculkan
perilaku buruk bahkan dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran pidana. Dengan
kata lain, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh
pejabat negara adalah merupakan pelanggaran etika. Praktek penyalahgunaan wewenang/jabatan oleh anggota
parlemen menjadi kebiasaan, integritas yang buruk tentu saja berdampak pada
pelaksanaan fungsi tugas pemerintahan.
Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa; ada dua syarat
seorang pemimpin dalam menjaga wibawa institusinya, pertama, kepemimpinan
diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk tindakan-tindakan hukum
yang pasti; kedua, kepemimpinan tersebut diharapkan dapat menjadi tauladan bagi
lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas kepribadian orang
yang taat terhadap aturan.[9]
Oleh sebab itu, keberadaan Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode
Etik DPR ini sangat perlu sebagai pengawasan tertulis, guna mencegah terjadinya
pelanggaran hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan etika, moral serta
kehormatan anggota parlemen. Bila sebuah negara dijalankan oleh pejabat yang
tindakannya sesuai dengan hukum dan perilakunya terpuji, niscaya rakyat pasti
akan meniru kebaikannya dan akan berdampak positif pada kemakmuran dan
kesejahteraan negara. Pentingnya sebuah etika dalam menjalankan kekuasaan
legislatif, akan penulis kupas melalui pendekatan perundang-undangan sehubungan
dengan ditetapkannya Peraturan DPR-RI Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik. Namun
dalam beberapa kasus yang terjadi masih saja terdapat beberapa oknum anggota
yang disinyalir melanggar etika dan hukum sehingga membuat kehormatan dan
martabat kelembagaan sedikit terganggu.
Terakhir ini dalam penyelenggaraan demokrasi
perwakilan kita mengalami cidera demokrasi yaitu terdapatnya kasus-kasus yang
menimpa anggota dewan yang terhormat. Berita korupsi menjadi tema yang hangat
diperbincangkan dalam media massa di Indonesia. Sejumlah nama pejabat hingga politisi
pun tidak luput dari pemberitaan kasus tersebut. Keterlibatan sejumlah pejabat
dan politisi dalam kasus korupsi dapat membawa hal yang buruk untuk negara,
disamping tindakan korupsi itu sendiri. Pasalnya, hal tersebut dapat
menimbulkan hilangnya rasa kepercayaan terhadap pemerintah, bila tidak
diberikan hukum yang tegas.
Nama Setya Novanto, menjadi nama yang cukup terkenal
dan sering terdengar di media Indonesia. Salah satu kasus kasus korupsi yang
sedang dibicarakan di Indonesia adalah kasus korupsi e-KTP. Nama Setya Novanto
mantan Ketua DPR semakin kuat dikaitkan dengan kasus e-KTP. Pada tanggal 16
November 2017, Setya Novanto selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) sekaligus Ketua Partai Golkar, mengalami kecelakaan. Setelah
ditetapkan sebagai tersangka yang terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan
KTP Elektronik (E-KTP), namanya menjadi buronan polisi. Pada hari penjemputan,
Ia dinyatakan hilang oleh KPK dan Polri dari kediamannya hingga akhirnya muncul
kembali dan terlibat sebuah kecelakaan mobil tunggal. Berdasarkan data Traffic Accident Analysis (TAA) dari
Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI, Toyota Fortuner hitam berpelat
nomor B 1732 ZLO yang dikendarai Hilman Mattauch, Seorang reporter MetroTV,
mengalami penurunan kecepatan sampai tiga tahap sebelum menabrak tiang listrik
di Jalan Permata Intan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hilman Mattauch
mengantarkan Setya Novanto yang hendak menuju ke studio Metro TV untuk
menghadiri wawancara langsung dalam sebuah program acara.[10]
KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Menurut Ketua KPK Agus
Rahardjo, Setya Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau
korporasi dan menyalahgunakan wewenang dan jabatan yang mengakibatkan kerugian
negara sebesar Rp 2,3 triliun dari nilai proyek sebesar Rp 5,9 triliun. Setya
Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.[11]
Sebelumnya, Setya Novanto telah tersandung beberapa
kasus, mulai dari kasus megakorupsi 'Cessie' Bank Bali (1999), kasus Penyelundupan
Beras Impor asal Vietnam (2003), Kasus Limbah Beracun B3 di Pulau Galang,
Kepulauan Riau (2006), Kasus Dugaan Suap PON (Pekan Olahraga Nasional) Riau
(2012), Kasus Papa Minta saham atau Kasus PT Freeport Indonesia (2015) serta
sidang MKD tertutup. Semua kasus tersebut membuat Setya Novanto selalu lolos
dari jeratan hukum. ‘Kesaktian’ Setya Novanto yang membuatnya kebal hukum
seolah membuat masyarakat menjadi penonton atas drama yang sedang Ia mainkan.
Terlebih lagi, kekesalan masyarakat semakin menjadi kala media massa turut
menjelaskan rincian dari setiap kejadian melalui pemberitaan mengenai kasus-kasus
yang terjadi.
Praktek penyalahgunaan wewenang/jabatan oleh anggota
parlemen menjadi kebiasaan, integritas yang buruk tentu saja berdampak pada
pelaksanaan fungsi tugas pemerintahan. Sebagai Ketua DPR tindakan yang
dilakukan tentu tidak hanya dilihat sebagai pelanggaran individu anggota DPR,
tetapi juga tindakan yang merusak institusi DPR. Tindakan Setya Novanto sebagai
anggota DPR, bukan saja melanggar kode etik, tugas, serta tanggung jawab
seorang anggota Dewan, tetapi juga mengandung unsur konflik kepentingan
pribadi.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, kelompok
kami tertarik menyusun makalah ini untuk mengemukakan dan menganalisis
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Setya Novanto selaku anggota Lembaga
Legislatif yaitu DPR-RI.
BAB 2
ISI
A.
Teori
dan Konsep Etika Pemerintahan dan Kode Etik Lembaga Legislatif
Dalam menjalankan fungsinya agar stabil dan terarah
pada tujuan negara, pemerintah memerlukan acuan, pedoman atau panduan yang oleh
Taliziduhu Ndraha (2006:235) dinamai Pegangan Pemerintahan. Ia mengemukakan
bahwa,
Dalam pemerintahan terdapat 10 (sepuluh)
jenis pegangan yang tidak boleh diabaikan, yaitu pegangan administratif,
yuristik politik, adat, kebiasaan, fatwa otoritas, etiket, moral, etika, hukum
alam, dan teologik. Pemahaman dan penggunaan pegangan-pegangan pemerintahan
tersebut berakibat baik bagi setiap pribadi aparatur dan lembaga pemerintah.
Ketidak-pahaman apalagi pengabaian terhadap pegangan pemerintahan tersebut
dapat berakibat buruk bagi pribadi aparatur pemerintah dan lembaga
pemerintahan, serta pada giliran berikutnya berdampak buruk pula bagi
masyarakat, bangsa, dan negara.
Etika, yang bersumber dari kesadaran, free will, atau self commitment, dan apabila diabaikan akan berakibat pengenaan
sanksi dari hati nurani diri sendiri, seperti rasa malu, penyesalan, rasa
bersalah, minta maaf, mohon ampun, tobat, memberi tebusan, mempersembahkan
korban, mengaku bersalah, mundur dari jabatan, mengasingkan diri, atau bahkan
bunuh diri. Yang dimaksud dengan etika sebagai pegangan pemerintahan disini
adalah etika dalam artinya sebagai pedoman, acuan, dan ukuran praktis dalam
berperilaku dengan bentuknya yang rinci dan operasional, dalam hal ini adalah
asas-asas dan norma-norma etik yang dikemas di dalam berbagai aturan atau kode
etik. Misalnya, kode etik profesi, kode etik organisasi, tatatertib, naskah
sumpah/janji pegawai, dan naskah
sumpah/janji jabatan.[12]
Bagi aparatur pemerintah, etika yang dijadikan
pegangan adalah etika yang umum berlaku dikalangan masyarakat dan etika khusus
berupa etika pemerintahan. Etika yang keberlakuannya universal, nasional, dan
lokal banyak terdapat pada berbagai sumbernya. Memang kesannya seolah-olah ada
pemisahan antara etika yang digunakan untuk kehidupan pribadi dan etika untuk
menjalankan pekerjaan pemerintahan. Yang sebenarnya tidak demikian, karena
etika pemerintahanpun mengandung asas-asas, nilai-nilai, dan norma-norma etik
yang berasal dari sumber-sumber menurut tata norma/nilai yang dianut
masyarakatnya, misalnya, agama (bagi penganutnya) dan kebudayaan. Asas-asas,
nilai-nilai, dan norma-norma etik tersebut digunakan dalam menjalani kehidupan
pribadi dan tugas pemerintahan dari mulai penetapan kebijakan, sampai pada
implementasi dan pertanggungjawabannya.
1. Teori dan Konsep Etika Pemerintahan
Telah disinggung
bahwa etika merupakan salah satu pegangan pemerintahan. Etika berasal dari
Bahasa Yunani kuno, ethos yaitu
bentuk tunggal yang mempunyai banyak arti, seperti tempat tinggal yang biasa,
pada rumput, kandang kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Dalam bentuk jamak ta etha
artinya adalah adat istiadat. Kata inilah menurut Bertens (2007:4) yang
melatarbelakangi munculnya kata ethica
yang digunakan filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 SM) untuk menunjukkan
filsafat moral. Jadi jika kita membatasi diri pada asal usul kata ini, maka
“etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
istiadat. Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Moral berasal
dari Bahasa latin, mos (jamak: nores) yang berarti juga kebiasaan,
adat. Jadi etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena
keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Etika dan moral,
sekalipun dari Bahasa asalnya yang berbeda, namun keduanya memiliki arti yang
sama secara etimologis. Perilaku yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan,
nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat dengan hakekat dan kodrat manusia
yang luhur.[13]
Lebih lanjut
Bertens (2007:6) mengemukakan bahwa etika mempunyai arti, yaitu: “Sebagai
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini dapat dikatakan sistem nilai.
Contoh, Etika Suku Indian.” Definisi ini substansinya sama dengan definisi Hans
Kung (1999:76-77) bahwa, “Etika (Inggris: ethics)
menunjuk pada teori sikap, nilai dan norma moral secara filosofis atau teologis.
Sedangkan etik (Inggris: ethic)
menunjuk pada sikap moral manusia yang mendasar.” Tanpa menyebut artinya Hans
Kung juga menggunakan kata ‘etis.’ Penulis menafsirkannya sebagai kata sifat,
yakni sifat perbuatan yang baik secara moral.
Secara historis, etika merupakan
hasil tuntutan manusia untuk hidup bahagia melalui cara-cara yang tertib,
teratur, rukun, nyaman, dan aman. Semakin banyak kegiatan manusia, semakin
banyak pula jenis etika yang dituntut kehadirannya, termasuk tuntutan terhadap
kehadiran etika pemerintahan.
Djadja Saefullah (2006:169)
berpendapat bahwa ada dua faktor utama yang mendorong diberlakukannya etika
dalam pemerintahan, yaitu:
Pertama;
perilaku korupsi para pejabat publik yang menyertai reformasi atau perubahan
pemerintahan. Penyimpangan-penyimpangan dalam perubahan pemerintahan yang
menyuburkan perilaku korupsi menggugah perlunya kode etik pemerintahan. Kedua;
adanya asosiasi atau organisasi profesi yang terpanggil untuk ikut
bertanggungjawab dalam mencegah atau memberantas penyimpangan-penyimpangan
dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari.
Dengan kata lain, etika
pemerintahan diintroduksi untuk melindungi kepentingan publik dari
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan para pejabat dalam lembaga-lembaga
pemerintahan. Inilah tujuan pokok etika pemerintahan dihadirkan.
Tujuan tersebut sebetulnya tidak
jauh berbeda dengan tujuan kehadiran norma lain, seperti norma hukum secara
umum atau hukum pemerintahan secara khusus dalam kehidupan suatu negara. Yang
membedakannya, etika pemerintahan lebih bertumpu atau lebih mengandalkan pada
kesadaran hati nurani pribadi aparatur pemerintah masing-masing. Kesadaran
untuk mengaplikasikannya diharapkan muncul dari jiwanya masing-masing, bukan
karena paksaan dan adanya ancaman sanksi dari luar. Karena itu, pembentukan
minat untuk mengaplikasikannya diupayakan dengan cara-cara yang lebih
menekankan pada proses pembudayaan. Yang diharapkan adalah terbangunnya etika
otonom, etika yang berasal dari kesadaran
diri pelakunya, dan bukan etika heteronom, etika yang dipaksakan dari
luar diri pelaku. Nilai-nilai dari etika pemerintahan diharapkan dapat menjadi
nilai-nilai intrinsik setiap pribadi aparatur pemerintah, nilai yang melekat
dalam jiwanya dan mendorong untuk berperilaku etis dalam situasi apapun yang
memungkinkan.
Djadja Saefullah (2006:168-169)
mengemukakan bahwa etika pemerintahan untuk pertama kalinya diintroduksi oleh
perhimpunan yang bernama International
City of Management Association (ICMA) di Amerika Serikat tahun 1924 dengan
diberlakukannya kode etik bagi administrator publik. Selanjutnya Djadja
Saefullah menjelaskan bahwa pada tahun 1958 diperkenalkan kode etik
administrator pemerintahan federal oleh Kongres AS, pada tahun 1967 dibuat kode
etik untuk seluruh tingkatan pemerintahan, dan pada tahun 1978 kode etik
pemerintahan federal diperluas dengan pembuatan The Office of Government Ethics yang secara universal diintroduksi
oleh American Society for Public
Administration.
Seperti telah disinggung di bagian
depan bahwa menurut Bertens (2007:267), etika khusus (ethica specialis) artinya sama dengan etika terapan. Kemudian,
etika pemerintahan menurut Ryaas Raysid (2002:55) termasuk dalam ruang lingkup
etika praktis. Jika kedua pendapat tersebut dihubungkan, etika pemerintahan
merupakan etika khusus atau etika terapan sebagai bagian dari etika sosial yang
sama kedudukannya dengan etika profesi, etika politik, etika lingkungan hidup,
dan etika keluarga, karena memuat nilai-nilai dan norma-norma moral yang
berlaku untuk masyarakat tertentu, dalam hal ini para penyelenggara pemerintahan.
Secara teoretik, etika pemerintahan
adalah studi tentang sentuhan etika pada hubungan pemerintahan (Ndraha,
2003:320). Yang dimaksud dengan hubungan pemerintahan adalah hubungan ‘yang
memerintah dengan yang diperintah,’ atau hubungan antara pemerintah suatu
negara/daerah dengan rakyatnya, hubungan yang menunjukkan pemenuhan hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam konteks kenegaraan. Dengan sentuhan etika
diharapkan hubungan pemerintahan dapat berlangsung harmonis.
Etika pemerintahan membahas nilai
dan moral pejabat pemerintahan dalam menjalankan kegiatan pemerintahan. Jika
etika politik subyeknya adalah negara, maka etika pemerintahan subyeknya adalah
pejabat dan para pegawai. Etika pemerintahan merupakan etika yang khusus
membahas mengenai keutamaan-keutaman yang harus dilaksanakan oleh para pejabat
pegawai negeri (Depdagri, 1995/1996:4). Menurut Aristoteles (dalam Suseno,
1997:39), ‘keutamaan-keutamaan hidup itu berupa keberanian, penguasaan diri,
kemurahan hati, kebesaran hati, budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut,
kejujuran, keberadaban, keadilan, dan persahabatan.’
Etika pemerintahan diartikan
sebagai suatu ukuran kepatutan atau keutamaan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk kepatutan perilaku dan tindakan aparat dan lembaga
pemerintahan (Hamdi, 2002:27). Etika pemerintahan diperuntukkan bagi setiap
orang yang dinyatakan dan menyatakan dirinya sebagai aparatur pemerintah. Jadi,
fokus etika pemerintahan dan etika administrasi negara adalah orang-orang yang
melakukan kegiatan dalam lembaga-lembaga pemerintahan (Saefullah, 2006:152).
Mereka dituntut untuk mematuhi norma yang berlaku dalam pemerintahan tanpa
kecuali.
Etika pemerintahan mengamanatkan
antara lain agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah
melanggar kaidah dan sistem nilai, atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah
masyarakat, bangsa dan negara (TAP MPR-RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa). Etika pemerintahan mengandung sistem nilai/norma etik
yang dapat berperan sebagai pengarah sikap dan perilaku aparatur pemerintah
dalam melaksanakan tugas sehari-hari termasuk dalam menetapkan dan
mengimplementasikan kebijakan publik. Menurut Miftah Thoha (1995:19), “moral
dan etika harus menjadi pertimbangan pertama jika birokrasi mengambil keputusan
atau bertindak melaksanakan policy.”
Dari
pendapat-pendapat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa etika pemerintahan mempunyai
dua arti yaitu:
a.
Sebagai kajian
teoritik secara filosofis dan teologis tentang baik-buruk secara moral perilaku
aparatur pemerintah.
b.
Sebagai sistem
nilai/norma dan kumpulan asas moral yang dijadikan pegangan/acuan/ukuran
perilaku aparatur pemerintah sehari-hari.
Etika
pemerintahan terkadang dikatakan etika pejabat publik karena aparatur
pemerintah berada di sektor publik (pemerintahan/negara) dan mereka dihadirkan
untuk mengurus kepentingan publik (umum/masyarakat luas), baik yang dipilih
atau tidak dipilih, yang tergolong pegawai negeri atau bukan. Dengan demikian, keetikaan
pemerintah pada hakikatnya adalah keetikaan orang-orang yang bekerja dalam
organisasi pemerintahan (pejabat publik).
Djadja Saefullah
(2007:156) berpendapat bahwa etika pejabat publik berhubungan dengan perbuatan
seseorang yang memegang jabatan tertentu (pejabat negara dan pemerintahan yang
berhubungan dengan pelayanan publik). Secara etis seorang pejabat tidak bisa
memisahkan antara perbuatannya dalam pekerjaan dengan perbuatannya di luar
pekerjaan. Karena itu, etika pejabat publik bukan hanya berlaku pada waktu
dinas saja tetapi juga berlaku bagi perilaku keseharian di luar dinas, termasuk
perbuatan keluarganya.
Dalam dokumen
(naskah akademik dan hasil penelitian lapangan) rancangan RUU Etika
Pemerintahan tahun 2001 diketahui bahwa ruang lingkup etika pemerintahan cukup
luas yakni menjangkau seluruh penyelenggara pemerintahan dalam arti luas
(eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang berada di semua tingkatan
pemerintahan (pusat-daerah-desa). Dengan demikian, keberlakuan etika
pemerintahan bukan hanya untuk birokrat (pejabat yang ditunjuk) saja, tetapi
juga nonbirokrat (pejabat yang dipilih), baik aparatur sipil negara atau bukan, yang berada/bertugas di semua
tingkatan pemerintahan.[14]
2.
Etika
dan Kode Etik dalam Lembaga Perwakilan
Guna meningkatkan kinerja anggota DPR yang sudah
menjadi tokoh publik, anggota DPR seharusnya menekankan pada etika sosial. Membicarakan etika DPR sebagai Lembaga perwakilan
harus dimulai dari kesadaran bahwa anggota DPR merupakan representasi dari
masyarakat itu sendiri. Pada hakekatnya, siapapun yang duduk di Lembaga
perwakilan merupakan cermin dari masyarakat pemilihnya. Karenanya kemudian
penetapan dan penegakan standar etika hendaknya dimulai dari pendulum bahwa DPR
adalah sekumpulan manusia yang secara realistis harus dijaga dengan norma yang
berangkat dari masyarakat dimana ia menjalankan fungsi representasinya.
Sorotan tajam dari publik atas kinerja DPR selama
ini membuat DPR terus menerus berusaha untuk memperbaiki citranya. Perbaikan
citra tersebut dilakukan dalam tahapan internal maupun eksternal. Tahapan
eksternal DPR berusaha keras untuk menghasilkan regulasi dan kinerja yang baik
dan diterima di mata publik secara luas. Disamping hal tersebut, perbaikan dari
sisi internal juga dilakukan oleh DPR. Hal ini dapat dilihat dari usaha
sungguh-sungguh mengubah Badan Kehormatan menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan.
Perubahan tersebut menjadi penanda political
will dari DPR untuk menegakkan etika kelembagaan DPR. Perubahan tersebut
tidak hanya perubahan secara nama, melainkan juga berubah secara substansi
pengaturan. Kehadiran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang dulunya bernama
Badan Kehormatan (BK) sejatinya merupakan salah satu alat kelengkapan dewan
yang bersifat tetap. Mahkamah ini mempunyai fungsi luhur untuk menjaga serta
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Perubahan nama tersebut juga mengandung pengertian bahwa proses
penegakan kode etika itu sebagai proses peradilan, sehingga mengubah nama dari
“Badan” menjadi “Mahkamah”. Dengan inovasi dan pengakuan ini sudah seharusnya
prinsip-prinsip mahkamah atau peradilan modern diterapkan sebagaimana mestinya
dalam mekanisme kerja penegakan kode etika Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam perspektif urgensi penegakan etika para
anggota dewan/legislator tersebut, Dennis F. Thompson dalam bukunya Political Ethics and Publik Office
(1987) menjelaskan, setidaknya ada tiga pendekatan untuk melihat perihal etika
legislatif anggota dewan[15]. Pertama,
etika minimalis. Etika ini memerintahkan diharamkannya tindakan yang buruk,
seperti korupsi, dengan membuat seperangkat aturan objektif yang berlaku bagi
anggota dewan secara internal. Implementasi dari etika minimalis ini adalah
dibuatnya aturan tata tertib dan kode etik serta dibentuknya sebuah badan
kehormatan, seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Kedua, etika fungsionalis yang menjadi basis
fungsional bagi para dewan/legislator. Etika fungsionalis ini mendefinisikan
tugas bagi anggota dewan dalam lingkup fungsi mereka sebagai wakil rakyat. Para
wakil rakyat sudah semestinya memahami fungsi utama mereka duduk di kursi
dewan, yaitu sebagai mekanisme aspirasi sekaligus representasi rakyat yang
mereka wakili. Para anggota DPR dianggap telah memenuhi etika fungsional ketia
ia melaksanakan semua tugas dan fungsi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya, ia
akan dianggap melanggar etika ketika tidak menjalankan tugas dan fungsinya.
Ketiga, etika rasionalis. Pondasi rasional
menempatkan para dewan/legislator harus bertugas pada prinsip hakiki politik,
seperti keadilan, kebebasan, dan kebaikan bersama (bonum commune). Berpijak pada etika ini, anggota dewan diharamkan
bertindak memperkaya diri dengan melawan hukum, baik atas nama pribadi maupun
partainya. Para legislator harus sadar betul bahwa ketika mereka telah duduk di
kursi parlemen, tuan mereka bukan lagi partai atau petinggi partai, melainkan
rakyat dan konstituen.
Atas dasar tiga pendekatan tadi, maka segala
kebijakan yang memberikan ruang kemudahan bagi anggota dewan melakukan
pelanggaran hendaknya dapat ditinjau ulang. Hal ini penting dilakukan untuk
menjaga sikap etis anggota dewan. Meminimalisasi segala perilaku dan kebijakan
yang tidak familiar di mata masyarakat. Etika legislatif dapat juga dilakukan
jika tuntutan-tuntutannya diinterprestasikan dalam konteks proses legislator.
Tuntutan-tuntutan itu membatasi perilaku legislator, tetapi tidak dengan cara
mencegah mereka menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat.[16]
Artinya tuntutan yang memberikan tuntunan agar anggota dewan dapat berperilaku
terhormat sebagai wakil rakyat di parlemen. Penegakan kode etik merupakan salah
satu upaya untuk mewujudkan kehormatan Lembaga perwakilan. Sejumlah peraturan
dan perundang-undangan diterbitkan sebagai instrumen dalam menjalankan fungsi,
tugas dan wewenang yang menempatkan Mahkamah Kehormatan DPR RI sebagai garda
terdepan.
Etika dan moral berkaitan dengan adanya kode etik. Kode etik dan/atau kode perilaku berisi norma atau
kaedah-kaedah etika materiel yang memuat rumusan-rumusan prinsip pokok dan
contoh-contoh tindak tanduk dan perilaku ideal atau yang diidealkan dalam
lingkup kewargaan komunitas atau organisasi masing-masing yang berbeda-beda
antar satu komunitas dengan komunitas yang lain atau antara satu organisasi
dengan organisasi yang lain.[17]
Kode etik disusun, disepakati, dan ditetapkan sendiri oleh kalangan internal
anggota komunitas atau organisasi profesi yang bersangkutan, sehingga memenuhi
unsur pengertian bahwa norma etika itu disusun dan diberlakukan dari dalam
kesadaran sendiri, sedangkan norma hukum dibentuk dan diberlakukan dari luar.
Sama halnya dengan penegakkan hukum, penegakkan kode
etik juga amat penting. Penegakkan kode etik adalah usaha melaksanakan kode
etik sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi
pelanggaran. Dan jika terjadi pelanggaran, memulihkan kode etik yang dilanggar
itu segera ditegakkan kembali, karena kode etik merupakan bagian dari hukum
positif, maka norma-norma penegakkan hukum undang-undang juga berlaku dalam
penegakkan kode etik.
Semua profesi memiliki rumusan kode etik tertentu,
contohnya kode etik dokter; kode etik notaris; kode etik kepolisian; kode etik
jurnalis dan lain sebagainya. Kode etik akan menjaga kehormatan dan nama baik
suatu lembaga atau organisasi, meningkatkan kredibilitas serta menjadi pengarah
profesi. Semakin beradab suatu masyarakat, semakin tinggi pelaksanaan kode
etik, maka semakin maju negara tersebut. Pengaturan kode etik anggota DPR telah
diatur di Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR, diantaranya
sebagai berikut:
a. Kode
etik yang mengatur tentang Kepentingan Umum anggota DPR[18] :
1) Anggota
dalam setiap tindakannya harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi, seseorang dan golongan.
2) Aggota
bertanggung jawab mengemban amanat rakyat, melaksanakan tugasnya secara adil,
mematuhi hukum, menghormati keberadaan lembaga legislatif dan mempergunakan
fungsi, tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya demi kepentingan dan
kesejahteraan rakyat.
3) Anggota
mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.
4)
Anggota harus selalu menjaga harkat,
martabat, kehormatan, citra dan kredebilitas dalam melaksanakan tugas serta
dalam menjalankan kebebasannya menggunakan hak berekspresi, beragama,
berserikat dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
5)
Anggota yang ikut serta dalam kegiatan
organisasi di luar DPR harus mengutamakan tugasnya sebagai anggota.
b. Kode
etik yang mengatur tentang Integritas sebagai anggota DPR[19] :
1) Anggota
harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan
citra dan kehormatan DPR baik diluar maupun di dalam gedung DPR menurut
pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
2) Anggota
sebagai wakil rakyat memiliki pembatasan pribadi dalam bersikap, bertindak, dan
berperilaku.
3) Anggota
dilarang memasuki tempat prostitusi, perjudian, dan tempat lain yang dipandang
tidak pantas secara etika, moral dan norma yang berlaku di masyarakatkecuali
untuk kepentingan tugasnya sebagai Anggota DPR.
4) Anggota
harus menjaga nama baik dan kewibawaan DPR.
5) Anggota
dilarang meminta dan menerima pemberian atau hadiah selain dari apa yang berhak
diterimanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c. Kode
etik yang mengatur tentang Hubungan dengan Mitra Kerja anggota DPR[20]:
1) Anggota
harus bersikap profesional dalam melakukan hubungan dengan mitra kerja.
2) Anggota
dilarang melakukan hubungan dengan mitra kerjanya untuk maksud tertentu yang
mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.
d. Kode
etik yang mengatur tentang Akuntabilitas seorang anggota DPR[21]:
1) Anggota
bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi,
tugas dan wewenangnya demi kepentingan negara.
2) Anggota
harus bersedia untuk diawasi oleh masyarakat dan konstituennya.
3) Anggota
wajib menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi rakyat kepada pemerintah secara
adil tanpa memandang SARA.
4) Anggota
harus mampu memberikan penjelasan dan alasan ketika dimintai oleh masyarakat,
atas ditetapkannya sebuah kebijakan DPR.
e. Kode
etik yang mengatur tentang Keterbukaan dan Konflik Kepentingan anggota DPR[22] :
1) Sebelum
mengemukakan pendapat dalam pembahasan suatu permasalah tertentu, anggota harus
menyatakan jika tidak ada suatu keterkaitan antara permasalahan yang sedang
dibahas dengan kepentingan pribadinya di luar kedudukannya sebagai anggota.
2) Anggota
mempunyai hak suara dalam setiap rapat dan dalam setiap pengambilan keputusan,
kecuali mempunyai konflik kepentingan dengan permasalahan yang sedang dibahas.
3) Anggota
dalam menyampaikan hasil rapat harus sesuai dengan kapasitas, baik sebagai
anggota maupun pimpinan kelengkapan alat DPR.
4) Anggota
dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi,
keluarga, ataupun golongan.
5) Anggota
dilarang menggunakan jabatannya untuk mempengaruhi proses peradilan yang
ditujukan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.
f. Kode
etik yang mengatur tentang Rahasia, anggota wajib menjaga rahasia yang
dipercayakan kepadanya termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia
sampai batas waktu yang telah di tentukan atau sampai dengan masalah tersebut
sudah dinyatakan terbuka untuk umum[23].
g. Kode
etik yang mengatur tentang Kedisiplinan sebagai anggota DPR[24]
1) Anggota
harus hadir dalam setiap rapat yang menjadi kewajibannya.
2) Anggota
yang tidak hadir rapat harus disertai keterangan yang sah dari pimpinan fraksi.
3) Anggota
dalam melaksanakan tugasnya harus berpakaian rapi, sopan dan resmi.
4) Anggota
harus aktif selama mengikuti rapat terkait dengan pelaksanaan tugas.
5) Anggota
dilarang menyimpan, membawa dan menyalahgunakan narkoba dalam bentuk apapun.
h. Kode
etik anggota DPR yang mengatur tentang Hubungan dengan Konstituen atau
Masyarakat[25]
:
1) Anggota
harus memahami dan menjaga kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat.
2) Anggota
tidak diperkenankan berprasangka buruk terhadap seseorang atas dasar alasan
yang tidak relevan baik dengan perkataan maupun tindakannya dalam melaksanakan
tugas.
3) Anggota
harus mendengar dengan penuh perhatian keterangan para pihak dan masyarakat
yang diundang dalam acara DPR.
4) Anggota
harus menerima dan menjawab dengan sikap penuh pengertian terhadap pengaduan
yang disampaikan oleh masyarakat.
i.
Kode etik yang mengatur tentang
Perjalanan Dinas anggota DPR[26] :
1) Anggota
yang melakukan perjalanan dinas ke dalam atau keluar negeri dengan biaya negara
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Perjalanan
dinas yang dimaksud dilakukan dengan menggunakan anggaran yang tersedia dan
dilakukan sesuai dengan ketentuan.
3) Anggota
tidak boleh membawa keluarga dalam suatu perjalanan dinas, kecuali dimungkinkan
oleh ketentuan atau atas dasar biaya sendiri.
j.
Kode etik yang mengatur tentang
Indepedensi anggota DPR[27] :
1) Anggota
MKD harus bersikap indepedensi dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak
lain dalam melaksanakan tugasnya.
2) Anggota
dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan MKD.
3) Dalam
melaksanakan tugas, anggota dilarang memenuhi panggilan penegak hukum tanpa ada
persetujuan tertulis dari MKD.
k. Kode
etik yang mengatur tentang Etika Persidangan [28]:
1) Anggota
wajib mematuhi tata cara rapat sebagaimana diatur dalam peraturan.
2) Pimpinan
dan anggota MKD dalam siding harus memakai pakaian sipil yang lengkap.
3) Anggota
dilarang mendekati meja pimpinan rapat, berkata kotor, merusak barang
inventaris DPR, dan menghina, dan merendahkan pimpinan rapat atau sesama
anggota.
B. Pelanggaran Kode Etik Lembaga
Legislatif
Pelanggaran Kode Etik, adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan yang diatur dalam kode etik tersebut.
Lembaga legislatif merupakan lembaga yang bertugas mewakili kepentingan rakyat.
Dalam pemerintahan, lembaga legislatif ini seharusnya memberi solusi terhadap permasalahan
yang dihadapi masyarakat Indonesia, tapi rasa-rasanya solusi-solusi itu jarang sekali
dapat kita rasakan dampaknya. Karena hal ini pun tingkat kepuasan dan
kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif ini rendah.
Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Beni Kurnia Ilahi, mengatakan pelanggaran konstitusi juga
dilakukan legislatif, yaitu DPD dan DPR. Sepanjang tahun 2015 ada 40 kasus
pelanggaran yang dilakukan.[29]
Berikut merupakan beberapa pelanggaran etika yang dilakukan oleh lembaga
legislatif.
1. Korupsi
Sepertinya korupsi merupakan hal yang
tidak pernah lepas dari pelukan pemerintah, khususnya legislatif. Sepanjang
tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani 178 kasus dan dari
total perkara yang ditangani KPK, 91 di antaranya melibatkan anggota DPR atau
DPRD.[30]
Sedangkan Indonesian Corruption Watch
(ICW) mencatat ada 254 anggota Dewan menjadi tersangka korupsi sepanjang
2014-2019. Dari angka tersebut, 22 orang di antaranya anggota DPR.[31]
Lembaga legislatif dan lembaga yudikatif
seharusnya mementingkan kepentingan rakyat. Lembaga legislatif khususnya yang
merupakan wakil rakyat sendiri, namun alih-alih menjadi wakil rakyat, nampaknya
anggota legisatif ini malah lebih menjadi wakil partai yang duduk di parlemen.
Bukannya memperjuangkan kepentingan rakyat, mereka lebih banyak memperjuangkan
kepentingan partai mereka, mengenyampingkan public needs. Anggota legislatif
duduk di kursi parlemen dan lebih banyak mementingkan mereka yang merupakan
petinggi birokrasi atau para pengusaha. Dalam hal ini tentu saja merupakan
salah satu penyimpangan yang dilakukan oleh legislatif.
Korupsi juga tidak lepas dari pelukan
lembaga yudikatif, lembaga ini pun ikut tergoda godaan korupsi yang dilakukan
hakim-hakim nakal. Hal ini berhasil diungkapkan oleh KPK yaitu OTT (Operasi
Tangkap Tangan) yang dilakukan oleh hakim-hakim Mahkamah Konstitusi (MK). KPK
berhasil menangkap hakim-hakim MK yang terjerat korupsi. Adanya hal ini
mencoreng nama hakim yang seharusnya tegak untuk membela kebenaran. Hal ini pun
membuat citra yudikatif kian menurun di khalayak publik.
2. Bolos dan Tidur Saat Rapat/Sidang
Selain korupsi, lembaga legislatif kita
juga hobi yang namanya bolos rapat. Saat rapat pertama anggota DPR periode
2019-2024 sudah diwarnai catatan buruk, mulai dari bolos rapat hingga tidur
waktu sidang berlangsung. Misalnya, pada sidang lanjutan hari pertama usai
mereka dilantik. Saat penetapan pimpinan DPR pada Selasa (1/10/2019) malam,
anggota dewan yang hadir di sidang paripurna hanya 285 orang dari total 575
anggota. Artinya ada 290 anggota yang absen rapat usai dilantik pagi harinya.[32] Selain itu, saat pengesahan Revisi UU KPK, terdapat
485 anggota DPR bolos. Lantas, jika anggota lembaga legislatif bolos rapat,
siapa yang menyuarakan kepentingan publik.
Selain bolos rapat, anggota legislatif
saat hadir dalam sidang juga banyak yang tidak menyimak, hanya hadir dan tidak
aktif dalam persidangan. Jika seperti ini sama saja dasarnya seperti tidak
hadir dalam persidangan. Adanya bolos rapat, tidak aktif dalam persidangan,
tidur saat persidangan sedang berlangsung dapat membuat rakyat tidak percaya
dengan kinerja lembaga legislatif.
3. Performa Lembaga
Performa Lembaga Legislatif kita minim
prestasi atau pencapaian. ICW mencatat Performa DPR periode ini (2015-2019)
tentu tak sebanding dengan besarnya uang rakyat yang mereka kelola. Jumlah
total APBN yang dialokasikan untuk lembaga legislatif sepanjang 2015-2019
mencapai Rp 26,14 triliun. Rata-rata, anggaran DPR pertahun sebesar Rp 5,23
triliun.[33]
Pada lembaga yudikatif, dampak dari
putusan mereka hanya dirasakan oleh mereka yang mendaftarkan perkaranya ke
lembaga yang bersangkutan, sehingga jika terjadi pelanggaran konstitusi hanya
segelintir orang yang dapat merasakan dampaknya. Penyimpangan yang dilakukan
lembaga yudikatif ini lebih mengarah pada penyimpangan hukum. Berdasarkan
catatan Tim peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand),
lembaga yudikatif melakukan penyimpangan hukum sebesar 33 persen, diikuti
pelanggaran HAM sebesar 24 persen, kemudian sosial dan politik yang
masing-masing sebesar 19 persen.[34]
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
lembaga legislatif diantaranya banyak yang berupa penyalahgunaan kekuasaan.
Lembaga legislatif tidak lepas dari pelukan korupsi dan hal ini merupakan
penyimpangan yang merugikan rakyat Indonesia. Selain itu, lembaga legislatif
juga banyak yang tidak hadir dan tidak aktif saat rapat atau siding berlangsung.
Lembaga legislatif Indonesia juga minim prestasi, hal ini membuat mereka yang disebut
wakil rakyat ini tidak dipercayai oleh publik lagi. Publik banyak yang tidak
percaya dan sudah terlanjur kecewa dengan kinerja lembaga legislatif belakangan
ini.
Sedangkan lembaga yudikatif juga tidak lepas dengan
yang namanya korupsi. Selain itu, penyimpangan yang sering dilakukan oleh
lembaga legislatif lebih banyak kepada pelanggaran hukum. Jika terdapat
pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh lembaga yudkiatif, hanya sebagian
kecil yang dapat merasakan dampaknya.
Dengan adanya kinerja lembaga belakangan ini dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki kualitas demokrasi yang buruk. Banyak sekali
lembaga-lembaga yang sudah diberikan amanah tetapi banyak yang mengabaikannya.
Hal ini membuat kekecewaan terhadap rakyat Indonesia sehingga banyak rakyat
yang tidak percaya lagi dengan lembaga-lembaga ini.
C.
Kasus
Pelanggaran Kode Etik Oleh Setya Novanto
1.
Sejarah Kasus Pelanggaran Etika Setya Novanto
Kasus-kasus
menyangkut Setya Novanto Menurut catatan Kompas.com, Setya beberapa kali
diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6
Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Kasus ini menjerat
mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, yang juga politikus Partai Golkar. KPK juga
pernah menggeledah ruangan Setya Novanto di lantai 12, Nusantara I DPR, terkait
penyidikan kasus yang sama. Dugaan keterlibatan dirinya dan anggota DPR Kahar
Muzakir dalam kasus PON (Pekan Olahraga Nasional) Riau terungkap melalui
kesaksian mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, Lukman Abbas, di
Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Riau. Saat itu, Lukman mengaku menyerahkan uang 1.050.000
dollar AS (sekitar Rp 9 miliar) kepada Kahar, anggota Komisi X DPR dari Partai
Golkar. Penyerahan uang merupakan langkah permintaan bantuan PON dari dana APBN
Rp 290 miliar. Lebih jauh, Lukman mengungkapkan, awal Februari 2012, Setya
Novanto menemani Rusli Zainal untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk
keperluan PON melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp 290 miliar.
Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto yang juga Ketua Fraksi
Partai Golkar ketika itu. Untuk memuluskan langkah itu, harus disediakan dana
1.050.000 dollar AS, dan alhasil pertemuan di ruangannya tersebut pernah diakui
Setya Novanto. Namun, menurut Setya, pertemuan itu bukan membicarakan masalah
PON, melainkan acara di DPP Partai Golkar. Setya Novanto juga membantah
terlibat dalam kasus dugaan suap PON Riau dalam beberapa kesempatan.[35] Dirinya
membantah pernah menerima proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON Riau,
atau memerintahkan pihak Dinas Pemuda dan Olahraga Riau (Dispora Riau) untuk
menyerahkan uang suap agar anggaran turun. Kasus Akil Mochtar dan Setya Novanto
Ikut Bermain Selain kasus suap PON Riau, Setya Novanto juga pernah diperiksa
sebagai saksi dalam kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait
sengketa pemilihan kepala daerah yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Kasus
ini menjerat mantan Ketua MK, Akil Mochtar, yang juga mantan politikus Partai
Golkar.
Pada
24 April 2014 lalu, Setya Novanto bersaksi dalam persidangan kasus Akil bersama
dengan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Dalam persidangan itu
terungkap adanya pesan BlackBerry (BBM) antara Akil dan Ketua Dewan Pimpinan
Daerah Partai Golkar Jatim sekaligus Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Jawa
Zainuddin Amali. Pesan BBM tersebut berisi permintaan uang Rp 10 miliar dari
Akil kepada Zainuddin. “Ya cepatlah,
pusing saya menghadapi sekjenmu itu, kita dikibulin melulu aja. Katanya yang
biayai Nov sama Nirwan B? menurut sekjenmu, krna (karena) ada kepentingan bisnis disana. Jd (jadi)vsama aku kecil2 aja, wah.. gak mau saya saya
bilang besok atw (atau) lusa saya
batalin tuh hasil pilkada Jatim. Emangnya aku anggota fpg (Fraksi Golkar di
DPR)?” Demikian bunyi pesan BBM yang
dikirimkan Akil yang diperlihatkan jaksa KPK sebagai barang bukti dalam
persidangan. Sementara itu Menurut transkrip BBM yang diperoleh jaksa KPK, Akil
Mochtar juga merasa dibohongi oleh Idrus karena awalnya bersedia menyiapkan
dana melalui Setya Novanto dan Nirwan B. Sayangnya, sebelum kesepakatan tersebut
tidak terlaksana, penyidik KPK menangkap Akil Mochtar bersama dengan politisi
Golkar lainnya, Chariun Nisa, bersama pengusaha Cornelis Nalau yang datang ke
rumah dinas Akil untuk mengantarkan uang suap terkait Pilkada Gunung Mas,
Kalimantan Tengah. Saat dikonfirmasi mengenai pesan BBM ini dalam persidangan,
baik Setya Novanto maupun Idrus membantah adanya permintaan uang dari Akil.
Setya Novanto mengaku telah melarang Zainuddin mengurus masalah Pilkada Jatim.
Dia juga mengakui bahwa hubungan Akil Mochtar dengan Golkar tidak baik karena
banyak perkara sengketa pilkada di MK yang tidak dimenangi Golkar.
Kasus
E-KTP Nama Setya Novanto juga disebut-sebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi
proyek pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) di
Kementerian Dalam Negeri. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad
Nazaruddin menyebut Setya Novanto dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum sebagai pengendali proyek e-KTP. Nazaruddin menuding Setya Novanto
membagi-bagi fee proyek e-KTP ke
sejumlah anggota DPR. Setya juga disebut mengutak-atik perencanaan dan anggaran
proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.[36] Terkait
proyek e-KTP, Setya membantah terlibat, apalagi membagi-bagikan fee. Dia
mengaku tidak tahu menahu soal proyek e-KTP. Terkait pengadaan e-KTP, KPK
menetapkan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto
sebagai tersangka. Sugiharto diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan atau
penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara terkait pengadaan
proyek tersebut. Sejauh ini, KPK belum pernah memeriksa Setya Novanto sebagai
saksi terkait dengan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan tersangka
Sugiharto, demikian dirilis Kompas.com.
Pelanggaran
Etik Setya Novanto jilid I Berita sebelum mencuat kasus pelanggaran etik dalam
soal perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia oleh pemerintah RI, Setya
Novanto membuat manuver dasyatnya yang cukup mengentak publik adalah kehadiran
Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam kampanye calon
presiden Partai Republik Donald Trump untuk pemilu Amerika Serikat tahun 2016.
Padahal, agenda resmi pimpinan Dewan beserta rombongan di AS pada 31 Agustus-2
September 2015 lalu adalah menghadiri Forum Ketua Parlemen Sedunia di New York.
Meski Setya Novanto dan Fadli Zon membalut pertemuan dengan Trump ini dengan
alasan mempromosikan peluang investasi di Indonesia, kehadiran mereka dalam
momen kampanye tersebut tetap menuai kontroversi. Sebab, apa yang dikatakan
oleh kedua unsur pimpinan Dewan ini tidak sesuai dengan kapasitas mereka. DPR
bukanlah lembaga yang berwenang untuk mengambil keputusan negara terkait
membangun kerja sama investasi dengan negara lain. Sementara Fadli Zon dalam
aksi foto bersamanya dengan Trump juga mendapat sorotan publik karena tindakan
itu dianggap mencoreng wibawa DPR sebagai lembaga negara yang berdaulat di
Indonesia. Meski Setya Novanto dan Fadli Zon membalut pertemuan dengan Trump
ini dengan alasan mempromosikan peluang investasi di Indonesia, kehadiran
mereka dalam momen kampanye tersebut tetap menuai kontroversi.[37] Sebab,
apa yang dikatakan oleh kedua unsur pimpinan Dewan ini tidak sesuai dengan
kapasitas mereka. DPR RI bukanlah lembaga yang berwenang untuk mengambil
keputusan negara terkait membangun kerja sama investasi dengan negara lain.
Sementara Fadli Zon dalam aksi foto bersamanya dengan Trump juga mendapat
sorotan publik karena tindakan itu dianggap mencoreng wibawa DPR RI sebagai
lembaga negara yang berdaulat di Indonesia.
Pelanggaran
Etika Setya Novanto jilid II Pencatutan Nama Presiden dan Wakil Presiden RI
dalam soal Freeport Indonesia Lengkap Dengan Istilah “Papa Minta Saham” Mahmud
Syaltout, dosen pascasarjana Universitas Indonesia, menyatakan pembuktian Setya
Novanto sebagai aktor besar itu melalui perhitungan algoritma berbentuk bintang
lima. Yang dia maksudkan adalah terkait pembicaraan dalam pertemuan Ketua DPR
Setya Novanto, M Riza Chalid, dan Presiden Direktur Utama Pt Freeport
Indonesia, Maroef Sjamsoeddin. Auditor hukum masuk lewat (ketua DPR RI) Setya
Novanto selanjutnya (pengusaha) Riza Chalid, (dirut Freeport) Maroef Syamsoedin,
(deputi I staf kepresidenan) Dharmawan Prasojo (Darmo), dan Luhut Binsar
Panjaitan, yang bisa mengungkap kasus Papa Minta Saham,” ujarnya disela-sela seminar
bertema Urgensi Auditor Hukum menghadapi Masyarakat Ekonomu Asean di Jakarta
Design Center (JDC) Slipi, Jakarta, Jumat (harian Poskota 4 Desember 2015).
Dijelaskannya, lima nama tersebut ternyata terkait dengan banyak nama-nama
besar yang dikenal Indonesia. Mulai pejabat tinggi pemerintahan dan legislatif
hingga petinggi partai politik pendukung pemerintahan.[38]
Namun
begitu, Prof Qomaruddin SH MH CLa mengisyaratkan kesulitan bakal dialami auditor
hukum memasuki ranah kinerja legislatif, eksekutif, dan yudikatif. “Mereka
sangat resistensi dengan pihak luar. Apalagi yudisial, seperti kehakiman yang
mengatasnamakan teknis yudisial walaupun terhadap komisi yudisial,” ujar
presiden Asosiasi Auditor Hukum Indonesia (Asahi) itu didampingi Ketua Ikadin
Jakarta, Petrus Leatomu SH MH CLa. Akan tetapi Setya Novanto sudah jelas
merupakan aktor besar dibalik kasus “Papa Minta Saham” yang bisa dibuktikan
melalui audit hukum, yang mungkin memang sulit dibuktikan melalui prosesi
sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Dan benar adanya ternyata
pagelaran terbuka panggung pengadilan pelanggaran Etik yang melibatkan Setya
Novanto sebagai Ketua DPR RI dan sekaligus sebagai anggota DPR RI, ternyata
sebagian banyak anggota sidang MKD DPR RI lebih banyak menyudutkan saksi dari
kasus tersebut.
Terutama
dari para anggota MKD dari Partai Golkar lebih mengupayakan untuk pembelaan
Setya Novanto. Pengadilan MKD DPR RI yang sudah tergulir kemaren selama dua
hari tersebut (2-3 Desember 2015) ternyata tak ubahnya hanya suguhan panggung Stand Up Komedian MKD DPR RI kasus Setya
Novanto jilid dua Pencatutan Nama Presiden dan Wakil Presiden RI dalam soal
Freeport Indonesia Lengkap Dengan Istilah “Papa Minta Saham” Sepertinya Setya
Novanto akan kembali lulus terbebas dari kasusnya ini, pasalnya sebagian banyak
anggota MKD DPR-RI lebih senang bolak balikan persidangan tersebut diatas
menjadi rancuh, tidak ada kesepakkatan untuk menetapkan vonis terhadap Setya
Novanto yang jelas-jelas terbukti telah melanggar Etika sebagai Dewan
terhormat, apalagi dirinya menyandang orang nomor satu di DPR RI saat ini
periode 2014-2019.[39] Dan
yang terakhir sebelum Setya Novanto mengundurkan diri dia sempat melakukan
pelanggaran etik yaitu pencatutan nama Presiden.
Setelah
jeda skors, sidang putusan dugaan pelanggaran kode etik Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Setya Novanto dimulai kembali. Tidak seperti sidang awal, pertemuan
lanjutan untuk mendengarkan pandangan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan
DPR (MKD) Surahman Hidayat dan Kahar Muzakir, sempat berjalan tertutup.
Di
tengah rapat tersebut tersiar kabar Setya Novanto mundur dari Ketua DPR. Benar,
ketika sidang dibuka kembali menjelang pukul 21.00 malam itu, Surahman
membacakan surat pengunduran diri tersebut. “Untuk menjaga harkat dan martabat,
serta kehormatan lembaga DPR RI, serta demi menciptakan ketenangan masyarakat,”
demikian pernyataan Setya Novanto kepada piminan DPR RI yang dibacakan
Surahman, Rabu, 16 Desember 2015.
Pengunduran
diri ini tentu menjadi antiklimaks dari persidangan di Mahkamah Kehormatan yang
sudah berjalan sejak dua pekan lalu. Tarik-ulur tak hanya terjadi di ruang
persidangan. Berbagai intrik terjadi seperti pergantian anggota MKD di
pertengahan hingga di hari terakhir putusan. Akbar Faizal, anggota MKD dari
Fraksi NasDem menjadi bagian terakhir dalam tambal sulam ini.
Yang
juga mengejutkan publik adalah penilaian akhir anggota MKD. Fraksi Gerindra dan
Golkar yang dari awal persidangan selalu mempermasalahkan legal standing
pengadu dan validasi alat bukti, bahkan bermaksud menutup sidang terhadap Setya
ini, malah menetapkan Setya melakukan pelanggaran berat. Mereka yang memilih
opsi ini yaitu Dimyati Natakusuma dari PPP, M. Prakosa (PDIP), Sufmi Dasco dan
Supratman dari (Gerindra), lalu Adies
Kadir, Ridwan Bae, dan Kahar Muzakir dari Golkar.
Sementara
itu, sembilan anggota lainnya menyatakan pelanggaran Setya Novanto tergolong
sedang. Yang memilih alternatif tersebut yaitu Darizal Bazir dan Guntur
Sasongko dari Demokrat, Junimart Girsang dan Riska Mariska dari PDIP, Maman
Imanulhaq (PKB), Victor Laiskodat (NasDem), Sukiman dan Ahmad Bakri dari PAN,
serta Syarifuddin Suding (Hanura).[40]
Dalam
Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan,
kedua opsi pelanggaran tersebut memang mempunyai konsekuensi berbeda. Bila kata
akhir Mahkamah Kehormatan memutuskan melakukan pelanggaran sedang maka teradu
akan dipindahkan keanggotaanya dalam alat kelengkapan DPR atau dicopot dari
jabatan di pimpinan DPR.
Adapun
bila divonis berat, Setya Novanto akan diberhentikan sementara paling singkat
tiga bulan. “Atau pemberhentian sebagai Anggota,” demikian bunyi Pasal 63 ayat
c. Namun, sanksi ini memilik konsekuensi lanjutan yaitu mesti dibentuk panel
yang bersifat ad hoc. Putusan panel
kemudian disampaikan kepada MKD untuk dilaporkan ke rapat paripurna DPR untuk
mendapat persetujuan pemberhentian tetap sebagai anggota DPR.[41]
Karena
itu ada anggapan bahwa pembentukan panel merupakan siasat lain untuk
menyelamatkan Setya. Sebab, panel ad hoc
dirasa lebih mudah untuk mendapat intervensi dan memiliki kelemahan yang dapat
memutarbalikan hasil persidangan. “Itu hanya strategi mereka. Ada udang di
balik batu.” kata Bvitri Susanti anggota Koalisi Bersihkan DPR.
Bvitri
mengatakan terdapat dua kelemahan utama jika panel ad-hoc dibentuk. Pertama, pemilihan anggota panel sangat riskan dan
rawan intervensi serta membuat masa penyelidikan yang lebih lama. “Jika
dibentuk, saya minta pemilihan anggota terbuka dan sidang terbuka,” ujarnya. Kelemahan
kedua adalah keputusan panel ad hoc
sifatnya hanya rekomendasi untuk dibawa ke paripurna, dan paripurna bisa
menolak rekomendasi itu.
Untuk
diketahui, kasus ini bermula pada pertengahan bulan lalu ketika Setya Novanto
dilaporkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said karena
dinilai mengintervensi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Upaya Setya
ini terungkap melalui rekaman pertemuan Setya dengan pengusaha minyak Muhamad
Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin di Pacific Place pada 8 Juni 2015.
Pertemuan tersebut merupakan ketiga kalinya mereka berkumpul yang diprakarsai
oleh Setya.
Dengan
rentetan kejadian itu, Sudirman menganggap tindakan Setya bukan saja melanggar
tugas dan tanggung jawab seorang anggota Dewan mencampuri eksekutif, tetapi
juga mengandung unsur konflik kepentingan. Lebih tidak patut lagi tindakan ini
melibatkan pengusaha swasta dan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla.[42]
2.
Kode Etik yang Dilanggar Oleh Setya Novanto
Sejumlah pelanggaran kode etik yang
dilanggar oleh Setya Novanto sebagai Anggota DPR RI adalah Pasal 2 Peraturan
DPR Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Kode Etik, Pasal 3 Bagian Kedua Tentang
Integritas, Pasal 4 Bagian Ketiga Tentang Hubungan dengan Mitra Kerja, Pasal 6
Bagian Kelima, Tentang Keterbukaan dan Konflik Kepentingan. Berdasarkan
beberapa Pasal Tentang Kode Etik yang dilanggar oleh Setya Novanto, yang
menjadi dasar aduan pengadu adalah Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
“Anggota dilarang melakukan hubungan dengan Mitra Kerjanya untuk maksud
tertentu yang mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme.” Sebab Masalah
korupsi E-KTP yang melibatkan Setya Novanto ini sangat merugikan banyak orang,
termasuk seluruh warga negara Indonesia. Korupsi adalah tindakan pejabat publik,
baik politisi maupun
peawai negeri, serta
pihak lain yang
telibat dalam tindakan itu yang
secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Disamping itu
juga melanggar Pasal 6 ayat (4) yang menyatakan bahwa: “Anggota dilarang
menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi,
Keluarga, Sanak Famili, dan golongan.” Menurut hemat penulis, Pasal ini
menegaskan bahwa telah terjadi konflik kepentingan antara teradu dengan
pengusaha swasta dan direktur PT. Freeport. Dimana teradu Setya Novanto,
mengambil keuntungan dari lobi-lobi saham yang mengatasnamakan Presiden dan
Wakil Presiden, sehingga hal ini menunjukan sikap yang tidak patut dan tidak
pantas dilakukan oleh pejabat publik yang bekerja mengemban amanah rakyat untuk
melayani konstituen mereka.
Menurut Dennis F. Thompson hubungan
antara eksekutif dan legislatif dengan warga negara, menyerupai satu
kepercayaan yang bersifat perwalian, pemerintah sebagai wali mengadakan satu kewajiban
sepihak kepada warga negara untuk bertindak demi kebaikan mereka, bukan hanya
kejujuran, melainkan juga suatu kehormatan yang merupakan standar prilaku
jabatan pemerintah. Para pejabat, memiliki hak dan kewajiban yang dimiliki oleh
semua warga negara. Menurutnya Sebagai manusia, pejabat dinilai oleh prinsip
yang sama untuk mengatur semua hubungan moral.
Berdasarkan Pasal 1 Bab II Pokok-Pokok
Etika Kehidupan Berbangsa Ketatapan MPR Nomor: VI/MPR/Tahun 2001, Tentang Etika
Kehidupan Berbangsa, menyatakan bahwa: “Etika politik dan pemerintahan
mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik, untuk bersikap jujur,
amanah, sportif, siap, melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap untuk mundur, dari jabatan publik apabila terbukti melakukan
kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.”
Pokok-pokok etika berdasarkan TAP MPR
tersebut, mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin,
etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga
kehormatan serta martabat harga diri, sebagai warga negara. Terutama Etika
pemerintahan yang mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila
merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai; atau dianggap tidak
mampu memenuhi amanat masyarakat, bangsa, dan negara.
Menurut Refly Harun, etika berada di
atas hukum karena etika adalah sebuah kebajikan yang nilainya tertinggi. Karena
itu, sudah menjadi etika seseorang yang berstatus tersangka tidak layak
diangkat menjadi pejabat publik.[43]
Jabatan adalah amanah yang dipercayakan, dititipkan kepada seseorang untuk
menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan terpercaya. Siapa saja para pejabat
yang perilakunya atau perangianya dipandang merusak kepercayaan publik terhadap
institusi Penyelenggara Negara, secara etika tidak pantas untuk tetap menduduki
jabatan publik yang dihormati masyarakat.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Etika merupakan
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya. Bagi aparatur pemerintah,
etika yang dijadikan pegangan adalah etika yang umum berlaku dikalangan masyarakat
dan etika khusus berupa etika pemerintahan. Etika pemerintahan mengamanatkan
antara lain agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam
memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah
melanggar kaidah dan sistem nilai, atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah
masyarakat, bangsa dan negara. Dalam mengatur etika pejabat publik
perlu adanya kode etik. Kode etik berisi
norma atau kaedah-kaedah etika materiel yang memuat rumusan-rumusan prinsip
pokok dan contoh-contoh tindak tanduk dan perilaku ideal atau yang diidealkan
dalam lingkup kewargaan, dimana Pengaturan kode etik
anggota DPR telah diatur di Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik
DPR.
2.
Pelanggaran Kode
Etik, adalah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota terhadap ketentuan yang
diatur dalam kode etik tersebut. Adapun beberapa pelanggaran etika yang
dilakukan oleh lembaga legislatif yaitu:
Korupsi, Bolos dan Tidur Saat Rapat/Sidang, dan Performa Lembaga Legislatif
kita minim prestasi. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga
legislatif diantaranya banyak yang berupa penyalahgunaan kekuasaan.
3.
DPR merupakan
Lembaga legislatif yang para anggotanya terpilih melalui mekanisme Pemilihan
Umum, sebagai sebuah Institusi, keberadaan sangat penting dan strategis dalam
melaksanakan perannya guna mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) dalam
menjalankan fungsinya perlu senantiasa mengedepankan komitmen moral dan
profesionalitas. Komitmen tersebut menjadi sangat penting sebagai upaya untuk
mewujudkan DPR yang produktif, terpecaya dan beribawa. Sejumlah pelanggaran
kode etik yang dilanggar oleh Setya Novanto sebagai Anggota DPR RI salah
satunya Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (4). Melihat pelanggaran yang telah dilakukan
oleh Setya Novanto sebagai anggota dari lembaga legislatif, hal ini menunjukan
sikap yang tidak patut dan tidak pantas dilakukan oleh pejabat publik yang
bekerja mengemban amanah rakyat untuk melayani konstituen mereka.
B.
Saran
Ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi berhubungan dengan pejabat publik dalam menjalankan perannya
sebagai lembaga legislatif yang beretika, bahwa pada Bab II Peraturan DPRRI
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Kode Etik, selain menunjang kinerja, peraturan
tersebut menjaga kewibawaan anggota DPR dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya. Anggota DPR hanya dan harus mengedepankan kepentingan publik
dibandingkan kepentingan-kepentingan pribadi atau partai politiknya atau bahkan
golongannya. Bertanggungjawab atas semua amanat yang rakyat titipkan kepadanya,
patuh terhadap hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya untuk kesejahteraan
rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Berupa
Buku dan Jurnal
Asshiddiqie,
Jimly. 2006. Membangun Sistem Hukum
Nasional yang Berwibawa. Jakarta: Konpress.
Asshiddiqie,
Jimly. 2014. Peradilan Etik dan Etika
Konstitusi Prespektif Baru tentang Rule of Law
and Rule of Ethics dan Constitutional Law and Constitutional Ehics. Jakarta: Sinar Grafika.
Dennis Thompson.
2002. Etika Politik Pejabat Negara, ed:
Terjemahan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Erwandi, Marta,
2018. Kedudukan Mahkamah Kehormatan Dewan
dalam Melakukan Penyelesaian Kasus
Dugaan Pelanggaran Kode Etik Anggota DPR RI. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya.
Tidak diterbitkan.
Fachruddin,
Hilmi, 2018. Peranan Badan Kehormatan
dalam Menegakkan Kode Etik Anggota
Dewan dalam Kasus Korupsi Oknum Anggota DPRD Kabupaten Pati Periode 2014-2019 Selaku Bendahara
Persipa Pati. Skripsi pada Fakultas Hukum, UIN
Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Habibi, Nur.
2014. Praktik Pengawasan Etika Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jurnal
Cita Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Diterbitkan, Vol. I No.1, (Online) (https://www.academia.edu/10969861, diakses pada
Oktober 2021).
Huda, Ni’matul.
2012. Hukum Tata Negara Indonesia Edisi
Revisi ke 5. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada.
Imania, Diah,
Dkk., 2016. Penegakan Kode Etik Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Melalui Mahkamah
Kehormatan Dewan. Diponegoro Law
Journal, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Volume 5 Nomor 3, (Online), (http://www.ejournal s1.undip.ac.id/index.php/dlr/, diakses pada
Oktober 2021).
Jimly
Asshiddiqie, Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi dan Menjaga Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Pejabat
Publik, Makalah Disampaikan dalam Seminar
Nasional Mahkamah Kehormatan DPR-RI, 8 Oktober 2018, hlm.7.
Muhadam Labolo, Modul Etika Pemerintahan, Institut
Pemerintahan Dalam Negeri, 2016.
Novita, Nur
Qamariah, 2016. Penyelesaian Pelanggaran
Kode Etik Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Jurnal Katalogis, Magister Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Tadulako Palu, Volume 4 Nomor
12 hlm. 140-150, ISSN: 2302-2019. Diterbitkan.
Salji, Siti
Khadijah A.P.P., 2016. Peradilan Etik
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam PerspektifPolitik
Islam (Studi Kasus Setya Novanto). Skripsi pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak diterbitkan.
Sufianto,
Dadang. Etika Pemerintahan di Indonesia.
Bandung: Alfabeta.
Suhaimi, Else,
2016. Penguatan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dengan Penegakan
Kode Etik terhadap Anggota Dewan. Jurnal Pemerintahan dan Politik, Fakultas Hukum Universitas Taman Siswa Palembang,
Volume 1 Nomor 2, ISSN: 2502-0900.
Diterbitkan.
Sunarto. 2015. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama.
Syafiie, Inu
Kencana. 2011. Etika Pemerintahan.
Jakarta: PT Rineka Cipta Winanto, Agus, 2016.
Problematika Hukum Persidangan Kode Etik
Ketua DPR Setya Novanto Oleh Mahkamah
Kehormatan DPR. Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya. Tidak
diterbitkan.
Yana, Nur Indah,
2019. Penyimpangan yang Dilakukan Oleh
Lembaga Legislatif dan Lembaga
Yudikatif di Indonesia. Jurnal FISIP Universitas Sriwijaya, (Online), (https://www.researchgate.net/publication/336686271, diakses pada
Oktober 2021).
Berupa
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
Berupa
Internet
Aktor
Pelanggaran Kode Etik, http://m.kompasiana.com, Diakses Pada
Oktober 2021.
Andri El Faruqi,
“Pemerintah Pelanggar Konstitusi Terbanyak, Ini Temuannya”, diakses dari https://nasional.tempo.co/read/741015/pemerintah-pelanggar-konstitusi-terbanyak initemuannya pada Oktober 2021.
Berita Harian
Kasus Setya Novanto, http://m.liputan6.com/tag/setya-novanto, Diakses pada Oktober 2021.
Haris Fadhil,
“KPK Tangani 178 Kasus Korupsi di 2018, Terbanyak Libatkan Legislatif”, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4350420/kpk-tangani-178-kasus-korupsi di-2018-terbanyak-libatkan-legislatif, pada Oktober
2021.
ICW, “Evaluasi
DPR 2014-2019”, diakses dari https://antikorupsi.org/id/siaran-pers/evaluasi dpr-2014-2019, pada Oktober
2021.
Jejak Kontroversi Setya Novanto, http://katadata.co.id/berita/2015/12/16/akhir-percaloan freeport-setya-novantomundur#sthash.CCreyvDC.dpbs, Diakses pada Oktober 2021.
Riyan Setiawan, “Potret DPR & DPD RI Minggu
Pertama: Bolos hingga Tidur Waktu Sidang”,
diakses dari https://tirto.id/potret-dpr-dpd-ri-minggu-pertama-bolos-hingga tidur-waktu-sidang-ejfU, pada Oktober 2021.
Rolando
Fransiscus Sihombing, “ICW: 22 Anggota DPR Tersangka Korupsi Sepanjang 2014 2019”, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4500126/icw-22-anggota-dpr tersangka-korupsi-sepanjang-2014-2019, pada Oktober
2021.
Sejarah Kasus
Pelanggaran Kode Etik yang Dilakukan Oleh Setya Novanto. http://www.kompasiana.com/syaifud_adidharta_2/setya-novanto-badut-aktor pelanggaran-etika-dpr-ri, Diakses pada
Oktober 2021.
Sejarah Kasus
Setya Novanto, https://m.tempo.co/topik/tokoh/903/setya-novanto, Diakses pada Oktober 2021.
Terbukti
Melakukan Pelanggaran Kode Etik, http://katadata.co.id/berita/2015/12/04/setya novanto-dituding-terbukti-langgar-kodeetik, Diakses pada
Oktober 2021.
Umi Nur Fadilah,
“Pusako: Lembaga Yudikatif Banyak Lakukan Penyimpangan”, diakses dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/02/01/o1uau5219-pusako lembaga-yudikatif-banyaklakukan-penyimpangan, pada Oktober
2021.
[1]
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan
Etika Konstitusi Prespektif Baru tentang Rule
of Law and Rule of Ethics dan Constitutional
Law and Constitutional Ehics. (Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlmn. 42).
[2]
Jimly Asshiddiqie, Peradilan Etik dan
Etika Konstitusi Prespektif Baru tentang Rule
of Law and Rule of Ethics dan Constitutional
law and Constitutional Ehics. (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
[3] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia
Edisi Revisi ke 5, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 159.
[4] Sunarto, Pengantar Hukum Tata Negara, Magnum
Pustaka Utama, Yogyakarta, 2015 hlm. 136.
[5] Ibid, hlm. 146.
[6] Ibid, hlm. 157.
[7] Ibid, hlm. 136.
[8] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI
Tahun 1945.
[9]
Kepemimpinan diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif untuk
tindakan-tindakan hukum yang pasti; kepemimpinan diharapkan dapat menjadi
tauladan bagi lingkungan yang dipimpinnya masing-masing mengenai integritas
kepribadian orang yang taat terhadap aturan. Jimly Asshiddiqie, Membangun
Sistem Hukum Nasional yang Berwibawa, (Jakarta: Konpress, 2006), h. 17.)
[10]
Tempo.co, diakses pada Oktober 2021.
[11]
Kompas, diakses pada Oktober 2021.
[12]
Dadang
Sufianto, Etika Pemerintahan di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2016) hlm.32-33
[13]
Muhadam
Labolo, “Modul Etika Pemerintahan”, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, 2016,
hlm.6
[14]
Dadang
Sufianto, Etika Pemerintahan di Indonesia (Bandung: Alfabeta, 2016) hlm.74
[15]
Dennis Thompson, Etika Politik Pejabat
Negara, ed: Terjemahan, (Jakarta; Yayasan obor Indonesia, 2002), hlm. 142
[16]
Ibid. hlm.183
[17]
Jimly Asshiddiqie, Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi dan Menjaga Kehormatan,
Keluhuran Martabat, dan Perilaku Pejabat Publik, Makalah Disampaikan dalam
Seminar Nasional Mahkamah Kehormatan DPR-RI, 8 Oktober 2018, hlm.7
[18]
Pasal 2 Peraturan DPR Nomor 1Tahun
[19]
Ibid, Pasal 3
[20]
Ibid, Pasal 4
[21]
Ibid, Pasal 5
[22]
Ibid, Pasal 6
[23]
Ibid, Pasal 7
[24]
Ibid, Pasal 8
[25]
Ibid, Pasal 9
[26]
Ibid, Pasal 10
[27]
Ibid, Pasal 11
[28]
Ibid, Pasal 16
[29]
Andri El Faruqi, “Pemerintah Pelanggar Konstitusi Terbanyak, Ini Temuannya”,
diakses dari https://nasional.tempo.co/read/741015/pemerintah-pelanggar-konstitusi-terbanyak-initemuannya
pada Oktober 2021.
[30]
Haris Fadhil, “KPK Tangani 178 Kasus Korupsi di 2018, Terbanyak Libatkan
Legislatif”, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4350420/kpk-tangani-178-kasus-korupsi-di-2018-terbanyak-libatkan-legislatif,
pada Oktober 2021.
[31]
Rolando Fransiscus Sihombing, “ICW: 22 Anggota DPR Tersangka Korupsi Sepanjang
2014-2019”, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4500126/icw-22-anggota-dpr-tersangka-korupsi-sepanjang-2014-2019,
pada Oktober 2021.
[32]
Riyan Setiawan, “Potret DPR & DPD RI Minggu Pertama: Bolos hingga Tidur
Waktu Sidang”, diakses dari https://tirto.id/potret-dpr-dpd-ri-minggu-pertama-bolos-hingga-tidur-waktu-sidang-ejfU,
pada Oktober 2021.
[33]
ICW, “Evaluasi DPR 2014-2019”, diakses dari https://antikorupsi.org/id/siaran-pers/evaluasi-dpr-2014-2019,
pada Oktober 2021.
[34]
Umi Nur Fadilah, “Pusako: Lembaga Yudikatif Banyak Lakukan Penyimpangan”,
diakses dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/02/01/o1uau5219-pusako-lembaga-yudikatif-banyaklakukan-penyimpangan,
pada Oktober 2021.
[35]
https://m.tempo.co/topik/tokoh/903/setya-novanto, Sejarah Kasus Setya Novanto, Diakses pada
Oktober 2021.
[36]
http://m.kompasiana.com, Aktor Pelanggaran Kode Etik, Diakses Pada
Oktober 2021.
[37]
http://m.liputan6.com/tag/setya-novanto, Berita Harian Kasus Setya Novanto, Diakses
pada Oktober 2021.
[38]
http://www.kompasiana.com/syaifud_adidharta_2/setya-novanto-badut-aktor-pelanggaran-etika-dpr-ri, Sejarah Kasus Pelanggaran Kode Etik yang
Dilakukan Oleh Setya Novanto. Diakses pada Oktober 2021.
[39]
http://www.kompasiana.com/syaifud_adidharta_2/setya-novanto-badutaktor-pelanggaran-etika-dpr-ri, Sejarah Kasus Pelanggaran
Kode Etik yang Dilakukan Oleh Setya Novanto, Diakses pada Oktober 2021.
[40]
http://www.kompasiana.com/syaifud_adidharta_2/setya-novanto-badutaktor-pelanggaran-etika-dpr-ri, Sejarah Kasus Pelanggaran Kode Etik yang
Dilakukan Oleh Setya Novanto. Diakses pada Oktober 2021.
[41]
http://katadata.co.id/berita/2015/12/04/setya-novanto-dituding-terbukti-langgar-kodeetik, Terbukti Melakukan Pelanggaran Kode Etik,
Diakses pada Oktober 2021.
[42] http://katadata.co.id/berita/2015/12/16/akhir-percaloan-freeport-setya-novantomundur#sthash.CCreyvDC.dpbs, Jejak Kontroversi Setya Novanto, Diakses
pada Oktober 2021.
[43]
Nur Qamariah Novita, “Penyelesaian Pelanggaran Kode Etik Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Oleh Mahkamah Kehormatan Dewan”, Program
Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Tadulako, 2016, hlm. 144-146.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar