NILAI
NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH DARI MASYARAKAT SUKU BANJAR
Diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah
Dasar-Dasar Pendidikan Moral
Dosen :
Dr. H. Sarbaini, M,Pd.
OLEH :
ANDYA AGISA
[1610112220003]
FAKULTAS
KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2017
NILAI
NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH DARI MASYARAKAT SUKU BANJAR
S
|
uku
Banjar merupakan kelompok mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Pada
awalnya kelompok ini banyak menempati wilayah pesisir dengan mata pencaharian
utama berdagang. Namun belakangan, suku Banjar juga mulai menempati
wilayah-wilayah pedalaman di sekitar pegunungan Meratus untuk menjalani
kehidupan sebagai petani karet atau berladang sebagaimana yang dilakukan oleh
masyarakat Meratus pada umumnya. Salah satu wilayah pedalaman yang menjadi
pilihan masyarakat Banjar untuk menjalani kehidupan adalah daerah Hulu Sungai
atau disebut pahuluan.
Adapun sebelumnya perlu kita ketahui
beberapa kearifan lokal terkhususnya lahan basah pada yang dimilikimoleh suku
masyarakat banjar ialah seperti Pasar Terapung, Jukung, Sistem Pertanian Lahan
Rawa nya, Kearifan Lokal Petani Lahan Rawa Lebak, dan lain sebagainya beserta
Identifikasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Suku Banjar yang akan
menjadi kesimpulan di bawahnya.
Pasar Terapung, Muara Kuin
Konon,
pasar terapung sudah mulai ada sejak Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di
tepi Sungai Kuin dan Barito pada tahun 1526, yang kemudian menjadi cikal bakal
Kota Banjarmasin. Pasar Muara Kuin tergolong unik, sebab selain melakukan
aktivitas jual-beli di atas air, juga tidak memiliki organisasi seperti pada
pasar-pasar yang ada di darat. Jadi, tidak dapat diketahui berapa jumlah
pedagang atau pembagian pedagang berdasarkan barang dagangannya.
Suasana
pasar Muara Kuin mulai hidup sekitar pukul 03.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita)
atau setelah subuh, para pedagang menggunakan perahu jukung,
yaitu sejenis perahu kecil yang terbuat dari kayu utuh. Para pedagang
kebanyakan adalah kaum perempuan yang mengenakan
pakaian tanggui dancaping lebar khas Banjar yang terbuat dari
daun rumbia. Barang-barang yang mereka jual umumnya sama seperti pasar-pasar
tradisional yang ada di darat, yaitu beras, sayur-mayur, buah-buahan,
ikan, penganan(makanan) dan lain sebagainya.
Sementara
para pedagang mulai berkumpul, para pembeli mulai datang dengan
menggunakan jukung sendiri maupun sewaan. Suasana pasar menjadi ramai
dengan hilir-mudiknya jukung, baik besar maupun kecil untuk
transaksi. Apabila keadaan pasar sudah terlalu ramai dan perahu-perahu
sudah berdesak-desakan, maka para pembeli dapat meloncat dari satu perahu ke
perahu yang lain untuk membeli barang yang diinginkannya. Sebagai catatan, di
pasar terapung ini juga sering terjadi transaksi barter antar pedagang yang
dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Banjarese Sistem Pertanian Lahan Rawa
Sistem
pertanian yang dipraktekkan oleh petani Banjar di lahan rawa (lahan pasang
surut, lebak, dan gambut) Kalimantan bagian selatan terutama di kawasan Delta
Pulau Petak oleh para ahli, misalnya Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk,
1951; dan Watson, 1984, disebut sebagai Sistem Orang Banjar (Banjarese System)
(Leevang, 2003). Salah satu penemuan petani Banjar adalah ilmu pengetahuan
teknologi dan kearifan tradisional dalam pembukaan (reklamasi), pengelolaan,
dan pengembangan pertanian lahan rawa. Lahan rawa lebak telah dimanfaatkan
selama berabad-abad oleh penduduk lokal dan pendatang secara cukup berkelanjutan.
Menurut Conway (1985).
Pemanfaatan
berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat
tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga
menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar. Penerapan teknik
budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi
lingkungan lahan rawa tersebut.
Teknik-teknik
canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang berhasil pada lahan
rawa lebak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah telah dikembangkan dan
diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang Banjar, Bugis, dan migran dari
Jawa. Ketiga kelompok ini mempergunakan sistem yang hampir seluruhnya
berdasarkan model yang dikembangkan oleh orang Banjar (Ruddle, dalam Haris,
2001).
Sistem
orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan
selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti
tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi,
kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai
sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang berhasil pada suatu
lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self sustaining dalam
jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar dan
pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang
diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).
Pertanian
lahan rawa lebak yang dilakukan oleh Orang/Suku Banjar di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah umumnya masih dikelola secara tradisional, mulai dari
persemaian benih padi, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama, penyakit dan
gulma, pengelolaan air, panen, hingga pasca panen. Fenomena alam dijadikan
indikator dan panduan dalam melaksanakan kegiatan bercocok tanam.
Ketergantungan pada musim dan perhitungannya pun masih sangat kuat. Apabila
menurut perhitungan sudah waktunya untuk bertanam, maka para petani akan mulai
menggarap sawahnya. Sebaliknya, apabila perhitungan musim menunjukkan kondisinya
kurang baik, maka umumnya para petani akan beralih pada
pekerjaanlainnya.Sebagai upaya penganekaan tanaman, petani memodifikasi kondisi
lahan agar sesuai dengan komoditas yang dibudidayakan. Petani membuat sistem
surjan Banjar (tabukan tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini,
di lahan pertanian akan tersedia lahan tabukan yang tergenang (diusahakan untuk
pertanaman padi atau menggabungkannya dengan budidaya ikan, mina padi) dan
lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk budidaya tanaman palawija,
sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan dan tanaman industri). Pengolahan
tanah menggunakan alat tradisional tajak, sehingga lapisan tanah yang diolah
tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak terusik. Dengan demikian,
kemungkinan pirit itu terpapar ke permukaan dan teroksidasi yang menyebabkan
tanah semakin masam, dapat dicegah. Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan
kegiatan pengelolaan gulma (menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang
tidak lain merupakan tindakan konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan
ke tanah sebagai pupuk organik (pupuk hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan
gulma yang ditebarkan secara merata menutupi permukaan lahan sawah juga
berfungsi sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput gulma (Idak, dalam
Haris, 2001).
Kearifan Lokal Petani Lahan Rawa Lebak
Sebagian
besar penduduk yang bermukim di wilayah rawa lebak di Kalimantan Selatan
bergelut di sektor pertanian secara luas, yaitu sebagai petani holtikultura,
padi, dan palawija, sebagai penangkap ikan, serta peternak itik atau kerbau
rawa. Sebagian penduduk lainnya bergerak di sektor perdagangan, kerajinan, dan
jasa yang hampir seluruhnya berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya
lahan rawa lebak.
Pada
mulanya rawa lebak hanya dijadikan tempat tinggal sementara para penebang kayu
dan pencari ikan. Semakin lama komunitasnya semakin bertambah banyak, sementara
kayu yang ditebang mulai berkurang sehingga masyarakat berupaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan mencoba menanam padi dan mengembangkan keterampilan.
Semakin lama mereka semakin memahami fenomena lahan rawa sehingga mampu
mengembangkan beragam komoditas pertanian. Dalam berinteraksi dengan alam
mereka tidak berupaya untuk menguasai atau melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan
dengan dinamika lahan rawa.
Usaha
tani padi yang dikembangkan di lahan rawa lebak sebagian terbesar merupakan
upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar hanya bertanam sekali
setahun pada musim kering (banih rintak) dan sebagian kecil dapat bertanam dua
kali dalam setahun (banih surung dan banih rintak). Mereka yang bertanam dua
kali setahun umumnya sawahnya berkisar antara 10-20 borongan (0,3-0,6 ha)
dengan produktivitas sebesar 3,5 ton/ha. Petani di Negara selalu menanam padi
rintak setiap tahun sedangkan padi surung tergantung pada keadaan air.
Penanaman padi rintak paling sedikit seluas 0,3 ha sedangkan padi surung paling
sedikit setiap 0,6 ha. Pada daerah yang ditanami padi sekali dalam setahun,
luas tanam setiap keluarga mencapai rata-rata 1 ha permusim dengan
produktivitas mencapai 4,2 ton/ha. Petani lokal di lahan rawa lebak Kalimantan
Selatan umumnya masih memerhatikan fenomena alam seperti bintang atau binatang
untuk melihat peluang keberhasilan usaha tani, termasuk waktu tanam.
Selain
pengetahuan yang berhubungan dengan peramalan iklim, petani di lahan rawa lebak
juga mempunyai kearifan lokal mengenai kesesuaian tanah dengan tanaman, baik
ditinjau dari ketinggiannya maupun kandungan humus dan teksturnya. Mereka
menanami tanah yang tinggi dengan semangka, jagung, kacang, dan ubi negara,
sedangkan tanah yang rendah ditanami padi. Bagi petani di lahan rawa lebak,
tanah bukaan baru dan dekat hutan umumnya dianggap sangat subur dan tidak
masam, tetapi bila banyak tumbuh galam pertanda tanah itu masam. Ciri tanah
masam lainnya adalah apabila di batang tanaman tersisa warna kekuning-kuningan
begas terendam (tagar banyu) dan ditumbuhi oleh kumpai babulu dan airnya
berwarna kuning. Tanah masam ini maih dapat ditanami ubi nagara atau bila ingin
ditanami semangka maka tanah dilakukan pengapuran terlebih dahulu. Bila telah
ditanami beberapa kali keasaman akan berkurang karena sisa-sisa rumput yang
tumbuh dan mati menjadi humus. Apabila keasaman tanah tidak bisa ditingkatkan
maka petani akan meninggalkannya dan menganggap tanah tersebut sebagai tanah
yang tidak produktif (tanah bangking). Tanah yang baik adalah tanah yang tidak
banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman liar (taung) seperti parupuk, mengandung
humus yang banyak dari pembusukan kumpai, serta mempunyai aliran sungai yang
dalam. Sungai ni berfungsi untuk pembuangan air masam sehingga sejak dahulu
petani membuat dan memelihara ray yang dibuat setiap jarak 30 depa.
Pada
masa lalu pengembangan dan penerapan kearifan lokal ini merupakan otoritas
perangkat kampung yang disebut Kepala Padang. Kepala Padang biasanya orang yang
mempunyai pengetahuan yang luas mengenai silsilah kepemilikan lahan dan
peramalan iklim. Ketentuan suatu kampung memulai melakukan aktivitas pertanian
biasanya ditentukan oleh Kepala Padang berdasarkan indikator gejala alam yang
diamatinya. Pada saat ini sudah jarang desa yang dilengkapi perangkat Kepala
Padang.
Jukung
Jukung
merupakan alat transportasi air yang sering digunakan masyarakat sebelum adanya
kapal besar dan jalur darat. Melalui tahapan perkembangan zaman modern dengan
munculnya teknologi yang semakin maju, jukung-jukung jenis tertentu dalam
batas-batas tertentu pula masih sanggup bertahan. Sudah sejak lama jukung
Banjar beroperasi di perairan sungai-sungai Kalimantan Selatan dalam berbagai
fungsi. Jukung sebagai alat transportasi, untuk berjualan atau berdagang,
mencari ikan, menambang pasir dan batu, mengangkut hasil pertanian, angkutan
barang dan orang dan jasa lain-lain. Dari berbagai jenis jukung Banjar menurut
fungsinya sebagaimana diuraikan maka sarana ini beroperasi di beberapa alur
sungai-sungai Barito, Martapura, Riam, Nagara, Amandit atau Tabalong dari masa
ke masa. Sebagian di antaranya sudah tidak berfungsi lagi, antara lain karena
terdesak oleh adanya kapal-kapal besar dan kecil yang beroperasi di sungai,
adanya speed boat serta dibangunnya prasarana jalan dan jembatan yang
bisa dilewati oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai kapan dan
sejauh mana jukung-jukung Banjar itu dapat bertahan dalam eksistensinya,
agaknya sukar untuk diramalkan dengan pasti. Namun jukung Banjar tersebut telah
memperkaya prasarana daerah ini dalam arti aset budaya daerah Banjar.
Jukung
adalah sebutan untuk perahu tradisional khas Banjar. Dahulu jukung mempunyai
peranan penting bagi masyarakat daerah Banjar, Banjar yang dikenal sebuah pulau
dengan seribu sungai sudah barang tentu mengenal jukung ini sejak zaman dahulu
kala. Budaya jukung sebenarnya dikenal pada 2000 SM, ketika migrasi pertama
bangsa proto melayu (melayu tua) dari sungai Mekong, Yunan, Cina Selatan ke
Kalimantan. Di duga bangsa proto-melayu yang telah mengenal logam tersebut
adalah nenek moyang suku Dayak. Baru pada abad 6-7 M pembuatan jukung yang
memiliki beragam jenis semakin berkembang di Kalimantan. Jukung dibuat selaras
dengan kondisi alam Kalimantan pada waktu itu. Yang paling tua jenisnya
diperkirakan adalah jukung sudur dan menjadi pondasi terciptanya jukung-jukung
jenis baru. Perkembangan jukung yang sampai ke Kalimantan Selatan akhirnya menjadi
identitas budaya saat berdirinya kerajaan Dipa di Amuntai, lalu kerajaan Daha
di Nagara, Hulu Sungai Selatan hingga, kerajaan Banjar di kuin, yang menjadi
tonggak lahirnya suku banjar. Budaya sungai dan alat transportasinya tidak bisa
dipisahkan dalam sistem sosial masyarakat Banjar ketika itu.
J
|
adi, adapun identifikasi dari nilai-nilai kearifan
lokal lahan basah yang dimiliki masyarakat suku Banjar ialah sebagai berikut.
1)
Nilai
Sosial atau Gotong Royong
Nilai sosial oleh msayarakat suku Banjar
masih terasa yang namanya unsur gotong royong sesama warga saling membantu dan
menolong, masyarakat suku Banjar biasa bekerja sama dalam segala hal untuk
mempermudah pekerajaan mereka dan mempererat rasa kekeluargaan suku Banjar.
Apabila nilai-nilai itu lenyap maka kehidupan masyarakat akan tidak beraturan
dan kehilangan identitas bagi masyarakat itu sendiri.
2)
Religius
Artinya masyarakat suku Banjar merupakan
masyarakat yang percaya kepada Ketuhanan, masyarakat yang kental akan agamanya,
merupakan masyarakat yang memiliki suatu sistem kepercayaan atau agama, dan
masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang cenderung taat dalam beragama.
3)
Memiliki
Nilai Semangat Juang atau Rajin
Masyarakat Banjar merupakan masyarakat
yang biasa hidup dipinggiran sungai memiliki semangat hidup yang tinggi untuk
menjalani hidup, maka dari itu masyarakat Banjar merupakan masyarakat yang
rajin terutama dalam hal bekerja memenuhi pokok-pokok kehidupannya mulai dari
berdagang hingga bertani dan semua itu merupakan semangat juang masyarakat
Banjar.
4)
Memiliki
Nilai Ekonomi
Masyarakat Banjar sering dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan berdagang, contohnya seperti berdagang di pasar
maupun pasar terapung, dari sinilah muncul nilai ekonomi dari masyarakat Banjar
yang pandai dalam berdagang.
5)
Memiliki
Nilai-Nilai Tradisional
Masayarakat
dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari baik bertani maupun berdagang,
masyarakat Banjar masih mempertahankan sistem tradisionalnya artinya,
masyarakat Banajr masih setia pada pemanfaatan tenaga kerja manusia sendiri
atau secara manual atau tradisional, biasanya untuk mempertahankan identitas
tradisonal khas suku Banjar.
6)
Berpengetahuan
yang Luas
Untuk
bertani banyak yang harus dilakukan serta petani harus mengetahui kondisi
tanah, keadaan lahan basah atau rawanya, bagaimana proses penanamannya serta
bibit-bibit yaang akan ditanam nanti, serta masyarakat Banjar yang masih
percaya akan meramalkan cuaca-cuaca atau datang tidaknya air, berapa luas
lahan, pengetahuan yang berhubungan dengan peramalan iklim, petani di lahan
rawa lebak juga mempunyai kearifan lokal mengenai kesesuaian tanah dengan
tanaman, baik ditinjau dari ketinggiannya maupun kandungan humus dan teksturnya
serta keasaman tanah dan itu semua memerlukan pengetahuan yang luas, berarti
dapat dikatakan bahwa masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang
berpengetahuan luas karena keterampilannya dalam bertani.
7)
Sopan
Maksud
budaya sopan suku Banjar adalah orang-orang suku Banjar memiliki nilai kesopanan
yang berbeda dari suku-suku lainnya di Indonesia, misalnya ketika berbicara
yang lebih muda tidak boleh memotong pembicaraan yang tua, saat makan yang
lebih muda tidak boleh mendahului yang lebih tua ketika memulai makan dan juga
ketika berpapasan dijalan atau bertemu dijalan dengan orang yang lebih tua suku
banjar yang lebih muda akan mencium tangan serta membungkukan badan kepada yang
lebih tua sebagai bentuk satu penghormatan.
8)
Sabar
Maksud
dari sabar adalah orang – orang suku banjar selalu tekun dan pantang menyerah
dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya serta orang suku Banjar selalu
mengutamakan keberasaam dari pada sikap individualis. Ini terlihat dari semboya
masyarakat banjar yaitu “Kayuh Baimbai”
dan “Waja Sampai Kaputing” . “Kayuh Baimbai” yang memiliki arti
bersama-sama atau bekerjasama dimana orang-orang banjar tidak akan pernah
meninggalkan seorang pun dibelakang dalam kondisi apapun, dan “waja sampai kaputing” yang berarti
apabila sudah dikerjakan wajib diselesaikan sampai akhir apapun kondisinya
bagaimanapun keadaaannya demi kepentingan bersama suku Banjar.
9)
Nilai
Harmoni
Masyarakat mempunyai nilai keselarasan,
misalnya dalam hal berdagang disuatu kampung atau desa ada masyarakat Banjar
yang seluruh penduduknya berdagang, da juga yang seluruh penduduknya yang bertani
seseuai keterampilan yang mereka miliki dan itu tidak mengurangi rasa
kekeluargaan mereka dan ini bisa dicontoh oleh siapapun.
10)
Nilai
Rukun
Dapat
dilihat masyarakat suku Banjar masih dapat hidup berdampingan dengan sesamanya,
tanpa ada perselisihan dan dengan rukun, melihat dari kondisi tempat tinggal
masyarakat suku Banjar yang kebanyakan berdempetan dan melihat dari nilai
gotong royong yang dimiliki masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat suku
Banjar memiliki suatu nilai kerukunan.
11)
Nilai
Tertib
Masyarakat
suku Banjar merupakan masyarakat yang tertib dilihat dari kebudayaannya yang
tradisonal masih dilakoni oleh masyarakat Banjar dengan tertib tanpa mengganggu
masyarakat lainnya.
12)
Setia
Kawan
Artinya masyarakat suku Banjar masih mau
membantu antar sesama, seperti pembangunan rumah lanting contohnya yang berada
diatas air, terkadang masyarakat suku Banjar saling membantu untuk membuat
rumah lanting tersebut.
13)
Nilai
Disiplin
Masyarakat suku Banjar merupakan
masyarakat yang disiplin, contohnya ketika berdagang di Pasar Terapung
masyarakat suku Banjar setiap hari harus bangun pagi, untuk menyiapkan
dagangannya lalu siap berjualan di Pasar Terapung yang memang aktifnya saat
pagi-pagi buta.
14)
Nilai
Harga Diri
Terlihat dari watk, sifat dan keseharian
masyarakat suku Banjar yang masih mempertahankan kearifan lokal atau
kebudayaan-kebudayaan tradisional suku Banjar.
15)
Tenggang
Rasa
Melihat
sisi masyarakat suku Banajr yang rela tolong menolong, bergotong royong dan
saling menghormati serta kesetia kawanan masyarakat suku Banjar.
16)
Ramah
Tamah
Masyarakat
suku Banjar dikenal dengan masyarakat yang ramah tamah baik terhadap sesama
maupun diluar masyarakat suku Banjar, karena keramah tamahan juga merupakan
ciri khas watak dari penduduk Indonesia, berarti tidak lepas dari masyarakat
suku Banjar.
17)
Nilai
Ikhtiar
Masyarakat
suku Banjar memiliki watak yang tidak pandang menyerah, selalu bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya serta tidak lupa dalam berusaha dan
berdoa kepada Yang Maha Esa karena masyarakat suku Banjar juga merupakan
masyarakat yang religius.
18)
Kompetitif
Masyarakat
Banjar selain mampu berdagang, masyarakat Banjar juga merupakan masyarakat yang
kompetitif. Mereka sama-sama berdagang tapi tidak melupakan nilai kerukunan,
tetapi selalu memiliki invasi sendiri dalam hal memenuhi kebutuhan pokok
hidupnya.
19)
Nilai
Kebersamaan
Masyarakat
suku Banjar merupakan masyarakat yang peduli terhadapa kebersamaan, mereka
senang dengan sual hal yang bersifat seperti perkumpulan. Memiliki jiwa
tenggang rasa, setia kawan, gotong royong serta bersama-sama dalam menciptakan
suatu kerukunan didalam masyarakat dan bersama-sama mempertahankan kearifan
lokal budaya dan tradisi bersama sesama masyarakat suku Banjar serta saling
tolong menolong.
20)
Kreatif
Masyarakat suku Banjar merupakan
masyarakat yang kreatif, mereka dapat memberikan suatu inovasi seperti
berdagang dia atas air dengan perahu atau jukung di Pasar Terapung yang
merupakan ciri khas Banjar, masyarakat suku banjar dapat membuat perahu atau
yang biasa di sebut Jukung, dan sesuai perkembangan waktu banyak sekali inovasi
atau kreasi-kreasi jukung dimasa yang sekarang ini. Melihat juga
bangunan-bangunan yang dibangun oleh masyarakat suku Banjar yang berbeda dengan
suku-suku masyarakat ynag lain merupakan ciri khas masyarakat suku Banjar,
seperti mesjidnya, rumah-rumah masyarakat suku Banjar, peninggalan-peninggalan
banguna kerajaan bahari, serta rumah lanting atau rumah diatas air khas suku
Banjar. Dan cara-cara penanaman tradisional serta sistem kepercayaan peramalan
cuaca oleh masyarakat suku Banjar yang menunjukkan bahwa masyarakat suku Banjar
merupakan masyarakat yang kreatif.
21)
Baiman
Yaitu
setiap Urang Banjar meyakini adanya Tuhan/Allah. Setiap individu etnis Banjar
selalu disuruh untuk mempelajari tentang rukun iman dan melaksanakan dengan rajin
kelima rukun Islam. Bila belum mempelajari tentang keimanan dan rukun Islam ini
dianggap keberagamaan orang Banjar belum sempurna.
22)
Bauntung
Urang
Banjar harus punya keterampilan hidup. Jadi Urang Banjar dari kecil sudah
diajari keterampilan kejuruan, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan
pekerjaan tertentu yang terdapat dilingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari
asal Urang Banjar tersebut misalnya orang Kelua punya keahlian menjahit, orang
Amuntai punya keahlian membuat lemari, orang Alabio punya keahlian sebagai
pedagang kain, Negara punya keahlian sebagai pedagang emas, membuat gerabah,
membuat perahu/kapal, orang Mergasari punya keahlian sebagai pembuat anyaman,
orang Martapura punya keahlian berdagang batu-batuan. Urang Banjar selalu di
ajari life skill atau keterampilan agar hidup bisa mandiri. Urang Banjar harus
bekerja terus menerus, karena setiap kali selesai suatu tugas, tugas lain telah
menanti.
23)
Batuah
Arti
berkah atau bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Urang Banjar sebagai pemeluk
agama Islam, tentu akan mengamalkan ajaran secara baik, yaitu agar hidupnya membawa
kebaikan bagi orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat
bagi orang lain. Jadi Urang Banjar dalam tatanan masa lalu maupun saat ini selalu
diharapkan agar hidupnya berguna bagi dirinya, keluarga dan orang banyak. Agar bisa
berguna bagi masyarakat, maka Urang Banjar harus memiliki iman yang kuat, ilmu yang
bermanfaat dan beramal kebajikan.
24)
Cangkal
Yaitu
ulet dan rajin dalam bekerja. Urang Banjar harus bekerja keras untuk menggapai
cita-cita, sehingga di masa lalu mereka suka merantau. Sifat cangkal dalam bekerja
adalah salah satu identitas orang Banjar. Dalam pandangan Urang Banjar bekerja hasus
maksimal, berdoa dan bertawakal kepada Allah SWT, sehingga hidupnya akan bahagia
di dunia dan akhirat.
25)
Baik
Tingkah laku
Yaitu
Urang Banjar dalam pergaulan sehari-hari harus menunjukkan budi pekerti yang
luhur agar dia disenangi orang lain. Dengan kata lain, Urang Banjar harus
pandai beradaptasi dengan lingkungan di mana dia bertempat tinggal.
26)
Kompetitif
individual
Yaitu
orang Banjar terkenal sebagai pekerja keras dalam menggapai cita-citanya tetapi
bekerja sendiri-sendiri tidak secara kolektif, sehingga Urang Banjar tidak
mampu membangun suatu poros kekuatan ekonomi atau politik di Pentas Nasional.
Urang Banjar cenderung memiliki sifat individual dan ego yang tinggi sehingga
susah diatur.
27)
Haram
manyarah dan waja sampai kaputing
Yaitu
pantang manyarah dan tegar pendirian. Kata hikmah di atas diungkapkan oleh
Pangeran Antasari dalam rangka memperkuat motivasi pasukannya menghadapi
pasukan penjajah Belanda. Urang Banjar mempunyai pendirian yang kuat untuk
mempertahankan keyakinan atau yang diperjuangkannya, sehingga tidak mudah
goyang atau terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang dihadapi.
28)
Nilai
Estetika/Seni
Menengok
nilai estetika orang Banjar memiliki daya seni tinggi lewat sebatang pohon,
mereka bisa menyulap menjadi jukung salah satu nilai seni yang menonjol yaitu
lewat jukung gundul. Orang menyebut gundul karena di ujung sampung (belakang
perahu) terdapat bentuk menyerupai kepala orang yang gundul. Jukung itu
memiliki kekhasan karena proses pembuatannya, kayu dipanggang di bara api
sehingga lebih awet di air. Masyarakat melihat keindahan pada jukung itu bisa
dilihat dari pengecatan warna dan kerapian dalam membuat jukung menggunakan
kayu berkualitas bagus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar