Jumat, 29 September 2017

NILAI NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH DARI MASYARAKAT SUKU BANJAR

NILAI NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH DARI MASYARAKAT SUKU BANJAR

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Dasar-Dasar Pendidikan Moral

Dosen :
Dr. H. Sarbaini, M,Pd.



OLEH :

ANDYA AGISA
[1610112220003]



FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2017
NILAI NILAI KEARIFAN LOKAL LAHAN BASAH DARI MASYARAKAT SUKU BANJAR

S
uku Banjar merupakan kelompok mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Pada awalnya kelompok ini banyak menempati wilayah pesisir dengan mata pencaharian utama berdagang. Namun belakangan, suku Banjar juga mulai menempati wilayah-wilayah pedalaman di sekitar pegunungan Meratus untuk menjalani kehidupan sebagai petani karet atau berladang sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Meratus pada umumnya. Salah satu wilayah pedalaman yang menjadi pilihan masyarakat Banjar untuk menjalani kehidupan adalah daerah Hulu Sungai atau disebut pahuluan.
            Adapun sebelumnya perlu kita ketahui beberapa kearifan lokal terkhususnya lahan basah pada yang dimilikimoleh suku masyarakat banjar ialah seperti Pasar Terapung, Jukung, Sistem Pertanian Lahan Rawa nya, Kearifan Lokal Petani Lahan Rawa Lebak, dan lain sebagainya beserta Identifikasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Suku Banjar yang akan menjadi kesimpulan di bawahnya.

Pasar Terapung, Muara Kuin
Konon, pasar terapung sudah mulai ada sejak Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi Sungai Kuin dan Barito pada tahun 1526, yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin. Pasar Muara Kuin tergolong unik, sebab selain melakukan aktivitas jual-beli di atas air, juga tidak memiliki organisasi seperti pada pasar-pasar yang ada di darat. Jadi, tidak dapat diketahui berapa jumlah pedagang atau pembagian pedagang berdasarkan barang dagangannya.
Suasana pasar Muara Kuin mulai hidup sekitar pukul 03.30 Waktu Indonesia Tengah (Wita) atau setelah subuh, para pedagang menggunakan perahu jukung, yaitu sejenis perahu kecil yang terbuat dari kayu utuh. Para pedagang kebanyakan adalah kaum perempuan yang mengenakan pakaian tanggui dancaping lebar khas Banjar yang terbuat dari daun rumbia. Barang-barang yang mereka jual umumnya sama seperti pasar-pasar tradisional yang ada di darat, yaitu beras, sayur-mayur, buah-buahan, ikan, penganan(makanan) dan lain sebagainya.
Sementara para pedagang mulai berkumpul, para pembeli mulai datang dengan menggunakan jukung sendiri maupun sewaan. Suasana pasar menjadi ramai dengan hilir-mudiknya jukung, baik besar maupun kecil untuk transaksi. Apabila keadaan pasar sudah terlalu ramai dan perahu-perahu sudah berdesak-desakan, maka para pembeli dapat meloncat dari satu perahu ke perahu yang lain untuk membeli barang yang diinginkannya. Sebagai catatan, di pasar terapung ini juga sering terjadi transaksi barter antar pedagang yang dalam bahasa Banjar disebut bapanduk.
Banjarese Sistem Pertanian Lahan Rawa
Sistem pertanian yang dipraktekkan oleh petani Banjar di lahan rawa (lahan pasang surut, lebak, dan gambut) Kalimantan bagian selatan terutama di kawasan Delta Pulau Petak oleh para ahli, misalnya Collier, 1980: Ruddle, 1987; van Wijk, 1951; dan Watson, 1984, disebut sebagai Sistem Orang Banjar (Banjarese System) (Leevang, 2003). Salah satu penemuan petani Banjar adalah ilmu pengetahuan teknologi dan kearifan tradisional dalam pembukaan (reklamasi), pengelolaan, dan pengembangan pertanian lahan rawa. Lahan rawa lebak telah dimanfaatkan selama berabad-abad oleh penduduk lokal dan pendatang secara cukup berkelanjutan. Menurut Conway (1985).
Pemanfaatan berganda (multiple use) lahan, vegetasi, dan hewan. Di lahan rawa, masyarakat tidak hanya menanam dan memanen padi, sayuran, dan kelapa, tetapi juga menangkap ikan, memungut hasil hutan, dan berburu hewan liar. Penerapan teknik budidaya dan varietas tanaman yang secara khusus disesuaikan dengan kondisi lingkungan lahan rawa tersebut.
Teknik-teknik canggih dan rendah energi untuk transformasi pertanian yang berhasil pada lahan rawa lebak di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah telah dikembangkan dan diperluas dalam beberapa dekade oleh orang-orang Banjar, Bugis, dan migran dari Jawa. Ketiga kelompok ini mempergunakan sistem yang hampir seluruhnya berdasarkan model yang dikembangkan oleh orang Banjar (Ruddle, dalam Haris, 2001).
Sistem orang Banjar merupakan sistem pertanian tradisional lahan rawa yang akrab dan selaras dengan alam, yang disesuaikan dengan situasi ekologis lokal seperti tipologi lahan dan keadaan musim yang erat kaitannya dengan keadaan topografi, kedalaman genangan, dan ketersediaan air. MacKinnon et al. (1996) menilai sistem ini sebagai sistem multicropping berkelanjutan yang berhasil pada suatu lahan marjinal, sistem pertanian yang produktif dan self sustaining dalam jangka waktu lama. Hal ini terlihat dari penerapan sistem surjan Banjar dan pola suksesi dari pertanaman padi menjadi kelapa–pohon, buah-buahan–ikan yang diterapkan petani Banjar (Haris, 2001).
Pertanian lahan rawa lebak yang dilakukan oleh Orang/Suku Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah umumnya masih dikelola secara tradisional, mulai dari persemaian benih padi, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama, penyakit dan gulma, pengelolaan air, panen, hingga pasca panen. Fenomena alam dijadikan indikator dan panduan dalam melaksanakan kegiatan bercocok tanam. Ketergantungan pada musim dan perhitungannya pun masih sangat kuat. Apabila menurut perhitungan sudah waktunya untuk bertanam, maka para petani akan mulai menggarap sawahnya. Sebaliknya, apabila perhitungan musim menunjukkan kondisinya kurang baik, maka umumnya para petani akan beralih pada pekerjaanlainnya.Sebagai upaya penganekaan tanaman, petani memodifikasi kondisi lahan agar sesuai dengan komoditas yang dibudidayakan. Petani membuat sistem surjan Banjar (tabukan tembokan/tukungan/baluran). Dengan penerapan sistem ini, di lahan pertanian akan tersedia lahan tabukan yang tergenang (diusahakan untuk pertanaman padi atau menggabungkannya dengan budidaya ikan, mina padi) dan lahan tembokan/tukungan/baluran yang kering (untuk budidaya tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan dan tanaman industri). Pengolahan tanah menggunakan alat tradisional tajak, sehingga lapisan tanah yang diolah tidak terlalu dalam, dan lapisan pirit tidak terusik. Dengan demikian, kemungkinan pirit itu terpapar ke permukaan dan teroksidasi yang menyebabkan tanah semakin masam, dapat dicegah. Pengolahan tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengelolaan gulma (menebas, memuntal, membalik, menyebarkan) yang tidak lain merupakan tindakan konservasi tanah, karena gulma itu dikembalikan ke tanah sebagai pupuk organik (pupuk hijau). Selain sebagai pupuk, rerumputan gulma yang ditebarkan secara merata menutupi permukaan lahan sawah juga berfungsi sebagai penekan pertumbuhan anak-anak rumput gulma (Idak, dalam Haris, 2001).

Kearifan Lokal Petani Lahan Rawa Lebak
Sebagian besar penduduk yang bermukim di wilayah rawa lebak di Kalimantan Selatan bergelut di sektor pertanian secara luas, yaitu sebagai petani holtikultura, padi, dan palawija, sebagai penangkap ikan, serta peternak itik atau kerbau rawa. Sebagian penduduk lainnya bergerak di sektor perdagangan, kerajinan, dan jasa yang hampir seluruhnya berhubungan erat dengan pemanfaatan sumberdaya lahan rawa lebak.
Pada mulanya rawa lebak hanya dijadikan tempat tinggal sementara para penebang kayu dan pencari ikan. Semakin lama komunitasnya semakin bertambah banyak, sementara kayu yang ditebang mulai berkurang sehingga masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mencoba menanam padi dan mengembangkan keterampilan. Semakin lama mereka semakin memahami fenomena lahan rawa sehingga mampu mengembangkan beragam komoditas pertanian. Dalam berinteraksi dengan alam mereka tidak berupaya untuk menguasai atau melawannya tetapi berusaha untuk menyesuaikan dengan dinamika lahan rawa.
Usaha tani padi yang dikembangkan di lahan rawa lebak sebagian terbesar merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sebagian besar hanya bertanam sekali setahun pada musim kering (banih rintak) dan sebagian kecil dapat bertanam dua kali dalam setahun (banih surung dan banih rintak). Mereka yang bertanam dua kali setahun umumnya sawahnya berkisar antara 10-20 borongan (0,3-0,6 ha) dengan produktivitas sebesar 3,5 ton/ha. Petani di Negara selalu menanam padi rintak setiap tahun sedangkan padi surung tergantung pada keadaan air. Penanaman padi rintak paling sedikit seluas 0,3 ha sedangkan padi surung paling sedikit setiap 0,6 ha. Pada daerah yang ditanami padi sekali dalam setahun, luas tanam setiap keluarga mencapai rata-rata 1 ha permusim dengan produktivitas mencapai 4,2 ton/ha. Petani lokal di lahan rawa lebak Kalimantan Selatan umumnya masih memerhatikan fenomena alam seperti bintang atau binatang untuk melihat peluang keberhasilan usaha tani, termasuk waktu tanam.
Selain pengetahuan yang berhubungan dengan peramalan iklim, petani di lahan rawa lebak juga mempunyai kearifan lokal mengenai kesesuaian tanah dengan tanaman, baik ditinjau dari ketinggiannya maupun kandungan humus dan teksturnya. Mereka menanami tanah yang tinggi dengan semangka, jagung, kacang, dan ubi negara, sedangkan tanah yang rendah ditanami padi. Bagi petani di lahan rawa lebak, tanah bukaan baru dan dekat hutan umumnya dianggap sangat subur dan tidak masam, tetapi bila banyak tumbuh galam pertanda tanah itu masam. Ciri tanah masam lainnya adalah apabila di batang tanaman tersisa warna kekuning-kuningan begas terendam (tagar banyu) dan ditumbuhi oleh kumpai babulu dan airnya berwarna kuning. Tanah masam ini maih dapat ditanami ubi nagara atau bila ingin ditanami semangka maka tanah dilakukan pengapuran terlebih dahulu. Bila telah ditanami beberapa kali keasaman akan berkurang karena sisa-sisa rumput yang tumbuh dan mati menjadi humus. Apabila keasaman tanah tidak bisa ditingkatkan maka petani akan meninggalkannya dan menganggap tanah tersebut sebagai tanah yang tidak produktif (tanah bangking). Tanah yang baik adalah tanah yang tidak banyak ditumbuhi oleh jenis tanaman liar (taung) seperti parupuk, mengandung humus yang banyak dari pembusukan kumpai, serta mempunyai aliran sungai yang dalam. Sungai ni berfungsi untuk pembuangan air masam sehingga sejak dahulu petani membuat dan memelihara ray yang dibuat setiap jarak 30 depa.
Pada masa lalu pengembangan dan penerapan kearifan lokal ini merupakan otoritas perangkat kampung yang disebut Kepala Padang. Kepala Padang biasanya orang yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai silsilah kepemilikan lahan dan peramalan iklim. Ketentuan suatu kampung memulai melakukan aktivitas pertanian biasanya ditentukan oleh Kepala Padang berdasarkan indikator gejala alam yang diamatinya. Pada saat ini sudah jarang desa yang dilengkapi perangkat Kepala Padang.

Jukung
Jukung merupakan alat transportasi air yang sering digunakan masyarakat sebelum adanya kapal besar dan jalur darat. Melalui tahapan perkembangan zaman modern dengan munculnya teknologi yang semakin maju, jukung-jukung jenis tertentu dalam batas-batas tertentu pula masih sanggup bertahan. Sudah sejak lama jukung Banjar beroperasi di perairan sungai-sungai Kalimantan Selatan dalam berbagai fungsi. Jukung sebagai alat transportasi, untuk berjualan atau berdagang, mencari ikan, menambang pasir dan batu, mengangkut hasil pertanian, angkutan barang dan orang dan jasa lain-lain. Dari berbagai jenis jukung Banjar menurut fungsinya sebagaimana diuraikan maka sarana ini beroperasi di beberapa alur sungai-sungai Barito, Martapura, Riam, Nagara, Amandit atau Tabalong dari masa ke masa. Sebagian di antaranya sudah tidak berfungsi lagi, antara lain karena terdesak oleh adanya kapal-kapal besar dan kecil yang beroperasi di sungai, adanya speed boat serta dibangunnya prasarana jalan dan jembatan yang bisa dilewati oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai kapan dan sejauh mana jukung-jukung Banjar itu dapat bertahan dalam eksistensinya, agaknya sukar untuk diramalkan dengan pasti. Namun jukung Banjar tersebut telah memperkaya prasarana daerah ini dalam arti aset budaya daerah Banjar.
Jukung adalah sebutan untuk perahu tradisional khas Banjar. Dahulu jukung mempunyai peranan penting bagi masyarakat daerah Banjar, Banjar yang dikenal sebuah pulau dengan seribu sungai sudah barang tentu mengenal jukung ini sejak zaman dahulu kala. Budaya jukung sebenarnya dikenal pada 2000 SM, ketika migrasi pertama bangsa proto melayu (melayu tua) dari sungai Mekong, Yunan, Cina Selatan ke Kalimantan. Di duga bangsa proto-melayu yang telah mengenal logam tersebut adalah nenek moyang suku Dayak. Baru pada abad 6-7 M pembuatan jukung yang memiliki beragam jenis semakin berkembang di Kalimantan. Jukung dibuat selaras dengan kondisi alam Kalimantan pada waktu itu. Yang paling tua jenisnya diperkirakan adalah jukung sudur dan menjadi pondasi terciptanya jukung-jukung jenis baru. Perkembangan jukung yang sampai ke Kalimantan Selatan akhirnya menjadi identitas budaya saat berdirinya kerajaan Dipa di Amuntai, lalu kerajaan Daha di Nagara, Hulu Sungai Selatan hingga, kerajaan Banjar di kuin, yang menjadi tonggak lahirnya suku banjar. Budaya sungai dan alat transportasinya tidak bisa dipisahkan dalam sistem sosial masyarakat Banjar ketika itu.

J
adi, adapun identifikasi dari nilai-nilai kearifan lokal lahan basah yang dimiliki masyarakat suku Banjar ialah sebagai berikut.

1)      Nilai Sosial atau Gotong Royong
Nilai sosial oleh msayarakat suku Banjar masih terasa yang namanya unsur gotong royong sesama warga saling membantu dan menolong, masyarakat suku Banjar biasa bekerja sama dalam segala hal untuk mempermudah pekerajaan mereka dan mempererat rasa kekeluargaan suku Banjar. Apabila nilai-nilai itu lenyap maka kehidupan masyarakat akan tidak beraturan dan kehilangan identitas bagi masyarakat itu sendiri.

2)      Religius
Artinya masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang percaya kepada Ketuhanan, masyarakat yang kental akan agamanya, merupakan masyarakat yang memiliki suatu sistem kepercayaan atau agama, dan masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang cenderung taat dalam beragama.

3)      Memiliki Nilai Semangat Juang atau Rajin
Masyarakat Banjar merupakan masyarakat yang biasa hidup dipinggiran sungai memiliki semangat hidup yang tinggi untuk menjalani hidup, maka dari itu masyarakat Banjar merupakan masyarakat yang rajin terutama dalam hal bekerja memenuhi pokok-pokok kehidupannya mulai dari berdagang hingga bertani dan semua itu merupakan semangat juang masyarakat Banjar.

4)      Memiliki Nilai Ekonomi
Masyarakat Banjar sering dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berdagang, contohnya seperti berdagang di pasar maupun pasar terapung, dari sinilah muncul nilai ekonomi dari masyarakat Banjar yang pandai dalam berdagang.

5)      Memiliki Nilai-Nilai Tradisional
Masayarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari baik bertani maupun berdagang, masyarakat Banjar masih mempertahankan sistem tradisionalnya artinya, masyarakat Banajr masih setia pada pemanfaatan tenaga kerja manusia sendiri atau secara manual atau tradisional, biasanya untuk mempertahankan identitas tradisonal khas suku Banjar.

6)      Berpengetahuan yang Luas
Untuk bertani banyak yang harus dilakukan serta petani harus mengetahui kondisi tanah, keadaan lahan basah atau rawanya, bagaimana proses penanamannya serta bibit-bibit yaang akan ditanam nanti, serta masyarakat Banjar yang masih percaya akan meramalkan cuaca-cuaca atau datang tidaknya air, berapa luas lahan, pengetahuan yang berhubungan dengan peramalan iklim, petani di lahan rawa lebak juga mempunyai kearifan lokal mengenai kesesuaian tanah dengan tanaman, baik ditinjau dari ketinggiannya maupun kandungan humus dan teksturnya serta keasaman tanah dan itu semua memerlukan pengetahuan yang luas, berarti dapat dikatakan bahwa masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang berpengetahuan luas karena keterampilannya dalam bertani.

7)      Sopan
Maksud budaya sopan suku Banjar adalah orang-orang suku Banjar memiliki nilai kesopanan yang berbeda dari suku-suku lainnya di Indonesia, misalnya ketika berbicara yang lebih muda tidak boleh memotong pembicaraan yang tua, saat makan yang lebih muda tidak boleh mendahului yang lebih tua ketika memulai makan dan juga ketika berpapasan dijalan atau bertemu dijalan dengan orang yang lebih tua suku banjar yang lebih muda akan mencium tangan serta membungkukan badan kepada yang lebih tua sebagai bentuk satu penghormatan.

8)      Sabar
Maksud dari sabar adalah orang – orang suku banjar selalu tekun dan pantang menyerah dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya serta orang suku Banjar selalu mengutamakan keberasaam dari pada sikap individualis. Ini terlihat dari semboya masyarakat banjar yaitu “Kayuh Baimbai” dan “Waja Sampai Kaputing” . “Kayuh Baimbai” yang memiliki arti bersama-sama atau bekerjasama dimana orang-orang banjar tidak akan pernah meninggalkan seorang pun dibelakang dalam kondisi apapun, dan “waja sampai kaputing” yang berarti apabila sudah dikerjakan wajib diselesaikan sampai akhir apapun kondisinya bagaimanapun keadaaannya demi kepentingan bersama suku Banjar.

9)      Nilai Harmoni
Masyarakat mempunyai nilai keselarasan, misalnya dalam hal berdagang disuatu kampung atau desa ada masyarakat Banjar yang seluruh penduduknya berdagang, da juga yang seluruh penduduknya yang bertani seseuai keterampilan yang mereka miliki dan itu tidak mengurangi rasa kekeluargaan mereka dan ini bisa dicontoh oleh siapapun.

10)  Nilai Rukun
Dapat dilihat masyarakat suku Banjar masih dapat hidup berdampingan dengan sesamanya, tanpa ada perselisihan dan dengan rukun, melihat dari kondisi tempat tinggal masyarakat suku Banjar yang kebanyakan berdempetan dan melihat dari nilai gotong royong yang dimiliki masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat suku Banjar memiliki suatu nilai kerukunan.

11)  Nilai Tertib
Masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang tertib dilihat dari kebudayaannya yang tradisonal masih dilakoni oleh masyarakat Banjar dengan tertib tanpa mengganggu masyarakat lainnya.

12)  Setia Kawan
Artinya masyarakat suku Banjar masih mau membantu antar sesama, seperti pembangunan rumah lanting contohnya yang berada diatas air, terkadang masyarakat suku Banjar saling membantu untuk membuat rumah lanting tersebut.

13)  Nilai Disiplin
Masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang disiplin, contohnya ketika berdagang di Pasar Terapung masyarakat suku Banjar setiap hari harus bangun pagi, untuk menyiapkan dagangannya lalu siap berjualan di Pasar Terapung yang memang aktifnya saat pagi-pagi buta.

14)  Nilai Harga Diri
Terlihat dari watk, sifat dan keseharian masyarakat suku Banjar yang masih mempertahankan kearifan lokal atau kebudayaan-kebudayaan tradisional suku Banjar.

15)  Tenggang Rasa
Melihat sisi masyarakat suku Banajr yang rela tolong menolong, bergotong royong dan saling menghormati serta kesetia kawanan masyarakat suku Banjar.

16)  Ramah Tamah
Masyarakat suku Banjar dikenal dengan masyarakat yang ramah tamah baik terhadap sesama maupun diluar masyarakat suku Banjar, karena keramah tamahan juga merupakan ciri khas watak dari penduduk Indonesia, berarti tidak lepas dari masyarakat suku Banjar.

17)  Nilai Ikhtiar
Masyarakat suku Banjar memiliki watak yang tidak pandang menyerah, selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya serta tidak lupa dalam berusaha dan berdoa kepada Yang Maha Esa karena masyarakat suku Banjar juga merupakan masyarakat yang religius.

18)  Kompetitif
Masyarakat Banjar selain mampu berdagang, masyarakat Banjar juga merupakan masyarakat yang kompetitif. Mereka sama-sama berdagang tapi tidak melupakan nilai kerukunan, tetapi selalu memiliki invasi sendiri dalam hal memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.

19)  Nilai Kebersamaan
Masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang peduli terhadapa kebersamaan, mereka senang dengan sual hal yang bersifat seperti perkumpulan. Memiliki jiwa tenggang rasa, setia kawan, gotong royong serta bersama-sama dalam menciptakan suatu kerukunan didalam masyarakat dan bersama-sama mempertahankan kearifan lokal budaya dan tradisi bersama sesama masyarakat suku Banjar serta saling tolong menolong.
20)  Kreatif
Masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang kreatif, mereka dapat memberikan suatu inovasi seperti berdagang dia atas air dengan perahu atau jukung di Pasar Terapung yang merupakan ciri khas Banjar, masyarakat suku banjar dapat membuat perahu atau yang biasa di sebut Jukung, dan sesuai perkembangan waktu banyak sekali inovasi atau kreasi-kreasi jukung dimasa yang sekarang ini. Melihat juga bangunan-bangunan yang dibangun oleh masyarakat suku Banjar yang berbeda dengan suku-suku masyarakat ynag lain merupakan ciri khas masyarakat suku Banjar, seperti mesjidnya, rumah-rumah masyarakat suku Banjar, peninggalan-peninggalan banguna kerajaan bahari, serta rumah lanting atau rumah diatas air khas suku Banjar. Dan cara-cara penanaman tradisional serta sistem kepercayaan peramalan cuaca oleh masyarakat suku Banjar yang menunjukkan bahwa masyarakat suku Banjar merupakan masyarakat yang kreatif.

21)  Baiman
Yaitu setiap Urang Banjar meyakini adanya Tuhan/Allah. Setiap individu etnis Banjar selalu disuruh untuk mempelajari tentang rukun iman dan melaksanakan dengan rajin kelima rukun Islam. Bila belum mempelajari tentang keimanan dan rukun Islam ini dianggap keberagamaan orang Banjar belum sempurna.

22)  Bauntung
Urang Banjar harus punya keterampilan hidup. Jadi Urang Banjar dari kecil sudah diajari keterampilan kejuruan, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan pekerjaan tertentu yang terdapat dilingkungannya. Hal ini bisa dilihat dari asal Urang Banjar tersebut misalnya orang Kelua punya keahlian menjahit, orang Amuntai punya keahlian membuat lemari, orang Alabio punya keahlian sebagai pedagang kain, Negara punya keahlian sebagai pedagang emas, membuat gerabah, membuat perahu/kapal, orang Mergasari punya keahlian sebagai pembuat anyaman, orang Martapura punya keahlian berdagang batu-batuan. Urang Banjar selalu di ajari life skill atau keterampilan agar hidup bisa mandiri. Urang Banjar harus bekerja terus menerus, karena setiap kali selesai suatu tugas, tugas lain telah menanti.

23)  Batuah
Arti berkah atau bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Urang Banjar sebagai pemeluk agama Islam, tentu akan mengamalkan ajaran secara baik, yaitu agar hidupnya membawa kebaikan bagi orang lain. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi Urang Banjar dalam tatanan masa lalu maupun saat ini selalu diharapkan agar hidupnya berguna bagi dirinya, keluarga dan orang banyak. Agar bisa berguna bagi masyarakat, maka Urang Banjar harus memiliki iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat dan beramal kebajikan.

24)  Cangkal
Yaitu ulet dan rajin dalam bekerja. Urang Banjar harus bekerja keras untuk menggapai cita-cita, sehingga di masa lalu mereka suka merantau. Sifat cangkal dalam bekerja adalah salah satu identitas orang Banjar. Dalam pandangan Urang Banjar bekerja hasus maksimal, berdoa dan bertawakal kepada Allah SWT, sehingga hidupnya akan bahagia di dunia dan akhirat.

25)  Baik Tingkah laku
Yaitu Urang Banjar dalam pergaulan sehari-hari harus menunjukkan budi pekerti yang luhur agar dia disenangi orang lain. Dengan kata lain, Urang Banjar harus pandai beradaptasi dengan lingkungan di mana dia bertempat tinggal.

26)  Kompetitif individual
Yaitu orang Banjar terkenal sebagai pekerja keras dalam menggapai cita-citanya tetapi bekerja sendiri-sendiri tidak secara kolektif, sehingga Urang Banjar tidak mampu membangun suatu poros kekuatan ekonomi atau politik di Pentas Nasional. Urang Banjar cenderung memiliki sifat individual dan ego yang tinggi sehingga susah diatur.

27)  Haram manyarah dan waja sampai kaputing
Yaitu pantang manyarah dan tegar pendirian. Kata hikmah di atas diungkapkan oleh Pangeran Antasari dalam rangka memperkuat motivasi pasukannya menghadapi pasukan penjajah Belanda. Urang Banjar mempunyai pendirian yang kuat untuk mempertahankan keyakinan atau yang diperjuangkannya, sehingga tidak mudah goyang atau terombang-ambing oleh situasi dan kondisi yang dihadapi.

28)  Nilai Estetika/Seni

Menengok nilai estetika orang Banjar memiliki daya seni tinggi lewat sebatang pohon, mereka bisa menyulap menjadi jukung salah satu nilai seni yang menonjol yaitu lewat jukung gundul. Orang menyebut gundul karena di ujung sampung (belakang perahu) terdapat bentuk menyerupai kepala orang yang gundul. Jukung itu memiliki kekhasan karena proses pembuatannya, kayu dipanggang di bara api sehingga lebih awet di air. Masyarakat melihat keindahan pada jukung itu bisa dilihat dari pengecatan warna dan kerapian dalam membuat jukung menggunakan kayu berkualitas bagus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar