Rabu, 06 April 2022

Laporan Baca Jurnal Mengenai Hukum Adat di Indonesia

 

LAPORAN BACA JURNAL

MENGENAI HUKUM ADAT DI INDONESIA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Konstitusi dan Kelembagaan Negara

 

  

Dosen :

Drs. H. Setia Budhi, P.hD

 


Oleh :

 ANDYA AGISA

[2120421320005]

  

 

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2021


LAPORAN BACA JURNAL MENGENAI HUKUM ADAT DI INDONESIA

Andya Agisa

[NIM. 2120421320005]

Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan

FISIP, Universitas Lambung Mangkurat

 

A.    Jurnal I

1.      Identitas Jurnal

Judul         : Hukum Adat di Nusantara Indonesia

Link           : http://journal.iaialmawar.ac.id/index.php/JSHI/article/download/98/47

Penulis       : Ahmad Tahali

Penerbit     : Universitas Alkhairat Palu

Tahun        : 2018

Volume     : Jurnal Syariah Hukum Islam, Vol. 1 No. 2

ISSN         : 2599-0195

 

2.      Abstrak

The law that developed in the midst of the community that today we know as customary law is values that have long been recognized as the norm. These values or norms have long grown in the midst of the Indonesian people, a nation whose people have a diversity of tribes, races, religions and customs that spread throughout the archipelago. The spread of diversity grows values or norms that are recognized in each region that has customary law. Admittedly the customary law has become an automatic way of dealing with it customarily. Customary law is a cultural aspect of society that has values, social norms. Among the benefits of studying customary law is to understand Indonesian legal culture, with this we will know which customary law is no longer in accordance with the times and which customary law can approach uniformity that applies as national law.

 

Hukum yang berkembang di tengah masyarakat yang saat ini kita kenal dengan hukum adat adalah nilai-nilai yang telah lama diakui sebagai norma. Nilai atau norma ini telah lama tumbuh ditengah-tengah masyarakat Indonesia, bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat istiadat yang tersebar di seluruh nusantara. Penyebaran keragaman tumbuh nilai atau norma yang diakui di setiap daerah yang memiliki hukum adat. Hukum adat telah diakui oleh masyarakat adat dalam menghadapi permasalahan dalam adat. Hukum adat merupakan aspek budaya masyarakat yang memiliki nilai, norma sosial. Manfaat belajar hukum adat diantaranya adalah untuk memahami budaya hukum Indonesia, dengan ini kita akan mengetahui yang mana hukum adat tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman dan hukum adat mana yang dapat keseragaman pendekatan yang berlaku sebagai hukum nasional.

 

3.      Review Jurnal

Jurnal ini mengkaji tentang Hukum Adat dalam tradisi masyarakat di Indonesia, dimana Hukum Adat dianggap sangat penting dalam kehidupan bermasyarat. Hukum Adat dapat mengatur pola tingkah laku masyarakat, serta hukum Adat dapat memberikan pengaruh dalam melakukan aktivitas serta pergaulan sehari-hari. Bila ada anggota masyarakat yang tidak mengindahkan norma sosial dimaksud, maka ini berarti nilai budaya yang mendasarinya diingkari, dan kalau pelanggaran itu terlalu sering terjadi, maka nilai budaya yang mendasarinya, lama-kelamaan bisa memudar dan terancam hilaing atau punah.

Pada bagian pendahuluan penulis menjelaskan mengenai bangsa Indonesia yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan Adat kebiasaan yang tersebar di kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat. Kapan tepatnya hukum dimulai ada tidak dapat diketahu. Jika ungkapan klasik ubi societas ibi ius diikuti, berarti hukum ada sejak masyarak ada. Dengan demikian pertanyaan dapat digeser menjadi sejak kapan adanya masyarakat. Terhadap pertanyaan ini pun juga tidak akan ada jawaban yang pasti. Namun, dilihat dari segi historis tidak pernah dijumpai adanya kehidupan manusia secara soliter di luar bentuk hidup bermasyarakat. Penggunaan hukum sebagai suatu alat untuk mengarahkan perubahan sosial merupakan suatu yang terbentang lebar di dalam seluruh masyarakat kontemporer baik masyarakat yang masih belum berkembang maupun masyarakat industri, baik masyarakat demikrasimaupun masyarakat totaliter. Kebudayaan merupakan suatu kekayaan yang sangat benilai karena selain merupakan ciri khas dari suatu daerah juga mejadi lambang dari kepribadian suatu bangsa atau daerah. Karena kebudayaan merupakan kekayaan serta ciri khas suatu daerah, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap suku bangsa.

Pengertian Hukum Adat di dalam jurnal ini dijelaskan menurut Snouck Hurgronje, kata adat berasal dari bahasa Arab, yang kemudian dilazim dipergunakan di Indonesia. Menurut Pasal 75 RR (Regeringsrelement), hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan mereka. Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda, “Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai oleh Van vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan Undang-Undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya. Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literatur di kalangan Perguruan Tinggi Hukum. Di dalam perundang-undangan istilah “Adat-recht” itu baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda. Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan rakyat umum hanya dikenal istilah “Adat” saja. Hukum tidak tertulis adalah juga hukum kebiasaan, salah satu contoh hukum tidak tertulis adalah hukum Adat Indonesia. Hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis yang meliputi peraturan hidup yang tidak ditetapkan oleh pihak yang berwajib, tetapi ditaati masyarakat berdasar keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Kebiasaan atau tradisi adalah sumber hukum yang tertua, sumber dari mana dikenal atau dapat digali sebagian dari hukum di luar undang-undang, tempat kita dapat menemukan atau menggali hukumnya. Jadi Hukum Adat adalah hukum tak tertulis yang terdiri dari ketentuan-ketentuan sehari-hari (usance) dan perbuatan-perbuatan terus menerus dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan dan pergaulan hidup serta diwujudkan secara nyata tanpa paksaan masyarakat atau bangsa, selama kebiasaan ini diikuti secara berkesinambungan. Dalam kamus hukum mengartikan bahwa hukum Adat adalah kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (pendekatan hukum Adat/Adatrecht). Selanjutnya penulis menjelaskan mengenai corak yang melekat dalam Hukum Adat di Indonesia yang dapat dijadikan sebagai sumber pengenal Hukum Adat dapat disebutkan yaitu: Tradisonal; Keagamaan; Kebersamaan; Konkret dan Visual; Terbuka dan Sederahana; Dapat berubah dan menyesuaikan; Tidak dikodifikasikan; dan Musyawarak mufakat. Disamping itu Hukum Adat juga memiliki beberapa asas dalam mengatur beberapa permasalahan adat yaitu: (1) Hukum Perorangan; Hukum perseorangan adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak-hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakn hak-haknya, juga hak-hak yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum. Dalam hukum perorangan ini yang dibicarakan adalah tentang masalah subjek hukum dalam hukum adat. Dalam hukum adat, subjek hukum perorangan meliputi badan-badan hukum dan manusia, badan-badan hukum antara lain desa, suku, nagari dan wakaf. (2) Hukum Kekeluargaan; yaitu hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan seperti hal keturunan, juga hubungan anak dengan orang tua. (3) Hukum Perkawinan Adat; Adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. (4) Hukum Adat Waris; adalah aturan hukum mengenai cara penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari suatu generasi ke generasi berikutnya. (5) Hukum Tanah Adat; ialah hukum yang mengatur hak-hak yang berkenaan dengan tanah.

Secara keseluruhan, jurnal ini sudah tersusun secara baik. Namun jurnal ini pada bagian abstraknya lebih banyak membahas definisi dan latar belakang seperti definisi dari Hukum Adat, serta membahas mengenai hal yang melatar belakangi ditulisnya jurnal tersebut yaitu Hukum yang berkembang di tengah masyarakat yang saat ini kita kenal dengan hukum adat adalah nilai-nilai yang telah lama diakui sebagai norma. Nilai atau norma ini telah lama tumbuh ditengah-tengah masyarakat Indonesia, bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat istiadat yang tersebar di seluruh nusantara. Selain itu di dalam jurnal tersebut tidak dijelaskan secara rinci tentang contoh nyata praktik Hukum Adat dalam mengatasi permasalahan masyarakat adat serta bagaimana kedudukan hukum adat dalam konstitusi di Indonesia. Jurnal ini memberikan gambaran mengenai Sistem hukum Adat yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kehidupan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, Mempelajari hukum adat maka kita akan mudah memahami hukum Indonesia, karena hukum adat dibentuk menurut kebiasaan masyarakat Indonesia yang memiliki sanksi dan diselaraskan dengan hukum nasional.


 

B.     Jurnal II

1.      Identitas Jurnal

Judul         : Eksistensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Pergumulan Politik Hukum Nasional

Link           : https://publishing-widyagama.ac.id/ejournal-v2/index.php/yuridika/

Penulis       : Winardi

Penerbit     : Widya Yuridika, STKIP PGRI Jombang, Jawa Timur

Tahun        : 2020

Volume     : Jurnal Hukum, Vol. 3 No. 1

ISSN         : 2615-7586

 

2.      Abstrak

Pluralitas hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Hukum adat secara faktual masih tetap diperlukan dalam menjawab kompleksitas pusaran arus globalisasi. Hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup di tengah-tengah masyarakat.Bahwa dalam kaitan dengan pembangunan substansi hukum, UUD 1945 secara tegas mengakui dan memberikan tempat dan dasar bagi keberlakuan norma hukum dan pranata hukum yang berasal dari hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (living live), yaitu hukum adat dan hukum Islam sebagai bagian dari hukum nasional. Penegasan ini berkenaan dengan dicantumkannya dua pasal baru dalam perubahan kedua (2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B Ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Berikutnya, Pasal 28 1 Ayat (3) yang menyatakan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

 

3.      Review Jurnal

Jurnal ini mengkaji tentang keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia yang merupakan kebutuhan hukum dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Hukum adat secara faktual masih tetap diperlukan dalam menjawab kompleksitas pusaran arus globalisasi. Hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Tulisan pada jurnal ini berupaya untuk fokus mendiskripsikan 2 (dua) persoalan, yakni : (1) dinamika hukum adat dalam pergumulan politik hukum nasional dan (2) kedudukan dan peran ideal hukum adat dalam politik hukum nasional.

Pada bagian pendahuluan penulis menjelaskan bahwa bangsa Indonesia hidup dalam negara yang serba plural dari berbagai sisi, mulai dari agama, suku, budaya, adat istiadat, ras, maupun antar golongan. Pluralitas terbentuk tidak terlepas dari kondisi geografis, dimana terdapat berbagai suku bangsa mendiami kawasan Asia tenggara, dalam lingkungan ribuan pulau, besar dan kecil. Hubungan antar pulau tidak selalu mudah, sehingga masing-masing pulau sedikit banyak terisolasi satu dari yang lain. Suatu kenyataan yang mendorong tumbuhnya ciri-ciri kesukuan, kebahasaan dan kebudayaan, dan hukum adat yang terpisah-pisah. Bahkan dalam lingkungan pulau-pulau besar pun, pola kesukuan dan kebudayaan yang berbeda-beda terdorong muncul dengan sifat khas masing-masing menurut lingkungannya, dikarenakan keadaan geografis dan topografis yang berbeda yang menyebabkan terbentuknya wilayah-wilayah yang terpisah antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu, penulis menjelaskan pluralitas juga terjadi di bidang hukum, disamping produk hukum yang terus diproduksi oleh negara melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional, dan hukum Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia, berlaku juga hukum adat yang sudah eksis dianut oleh bangsa Indonesia jauh sebelum datangnya hukum Islam dan Hukum Barat (kolonial). Dimana kondisi berlakunya lebih dari satu sistem hukum dalam satu sistem sosial inilah yang disebut pluralisme hukum. kenyataannya dalam lapangan sosial yang sama, ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku. Selain tertib hukum negara, masyarakat juga patuh dan dituntun local normative order yang antara lain berupa hukum adat, hukum kebiasaan, maupun hukum agama.

Pada pembahasan pertama bagian A, penulis menjabarkan mengenai dinamika Hukum Adat dalam pergumulan politik hukum nasional. Dimana, terbentuknya hukum adat diawali oleh perilaku pribadi anggota masyarakat. Adanya aksi dan reaksi yang terpolarisasi dalam hubungan timbal balik antar individu yang satu dengan individu lainnya, akan membentuk suatu interaksi sosial. Interaksi antar sesama yang dilakukan secara berulang-ulang akan memberi pengaruh terhadap tingkah laku bagi yang lainnya, sehingga dalam prosesnya terjadilah sebuah hubungan sosial. Jika hubungan sosial dilakukan secara sistematis, maka hubungan sosial tersebut akan menjadi sebuah sistem sosial. Dengan adanya interaksi sosial, maka kebiasaan tersebut lambat laun akan menjadi “adat” yang telah menjelmakan perasaan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya kelompok masyarakat menjadikan adat sebagai sebuah adat yang harus berlaku dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakatnya dan menjadikan ia “hukum adat”. Sehingga hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan/dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan. Ketika VOC berkuasa praktis hukum adat belum ditemukan. Bahkan VOC menganggap hukum adat lebih rendah derajatnya daripada hukum Belanda (Eropa). Namun ketika Inggris berkuasa mulai ada perintisan penemuan hukum adat. Bahkan Raffles termasuk salah satu perintisnya meski keliru mengindentifikasi. Raffles kemudian mengusulkan agar pemerintah Inggris menerapkan politik murah hati kepada pribumi. Peralihan kekuasaan dari Inggris ke Belanda pada tahun 1816 ternyata merupakan angin segar bagi perkembangan hukum adat. Dimulai pada tahun 1938 ketika pemerintah Belanda berhasil membuat peraturan kodifikasi Hukum Pidana dan Perdata di negerinya sendiri. Hal ini mendorong kodifikasi peraturan di Hindia Belanda. Saat itu hukum adat masih merupakan gejala yang tidak dikenal dan tidak disukai. Tujuan kodifikasi hukum tersebut adalah menyeragamkan peraturan-peraturan yang berlaku di Negeri Belanda dan Hindia Belanda/ indonesia. Untuk itu dibentuk komisi Scholten van Oud Haarlem yang bertugas membuat perencanaan agar kodifikasi Hukum Belanda tersebut dapat diterapkan di Hindia Belanda dan mengajukan usul-usul yang sesuai dengan pelaksanaan tugas tersebut. Dalam perkembangannya, Oleh Pemerintah Kolonial Belanda hukum adat diakui secara resmi merupakan hukum bagi bangsa Indonesia dan sejajar dengan hukum Eropah melalui Pasal 131 ayat (6) IS yang menyatakan ”hukum bangsa Indonesia adalah hukum positif bagi bangsa Indonesia”. Pengertian hukum bangsa Indonesia dalam pasal tersebut adalah hukum adat. Pasal 131 ayat (6) ini merupakan dasar hukum terhadap pengakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat dan sekaligus pengakuan terhadap hukum adat sebagai hukum positif bagi bangsa Indonesia. Dengan diakuinya hukum adat sebagai hukum positif maka pada masa Pemerintahan Hindia Belanda ada dua sistem hukum yang berlaku yaitu sistem hukum Belanda bagi orang Eropah dan bagi orang Timur Asing maupun orang Indonesia yang secara penundukan diri kepadanya diberlakukan hukum Eropah (Pasal 131 ayat (2) IS) dan hukum adat bagi bangsa Indonesia dan orang timur asing yang tidak asing di Indonesia (Pasal 136 ayat (6) IS). Setelah kemerdekaan, eksistensi hukum adat dan masyarakat adat berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dan sekilas tertuang dalam Penjelasan UUD 1945, yang menyatakan : "Dalam territoir negara Indonesia terdapat +250 “zelfsbesturende landschappen” dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak dan asal-usul daerah tersebut."

 

Jurnal ini mengutip pendapat Soetandyo Wignjosoebroto yang mengatakan bahwa, “berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menasional dan dengan demikian juga meneruskan berlakunya seluruh hukum perundang-undangan kolonial yang bersemangatkan unifikasi telah pula menjadikan hukum adat yang bersemangatkan pluralisasi itu tidak banyak diperhatikan.” Sebagaimana telah diketahui, dibawah pengelolaan ter Haar, sepanjang sejarah babakan akhir pemerintahan kolonial, positivisasi Hukum Adat tidak dilakukan melalui undang-undang (legislasi) sebagaimana dipikirkan oleh van Vollenhoven, malainkan lewat proses yudisial. Dalam kenyataan demikian, Hukum Adat “hanya” terdokumentasi dalam  naskah-naskah yuridisprudensi, sedangkan kita semua pun tahu bahwa di negeri-negeri yang menganut tradisi civil law system Prancis, seperti Indonesia ini, bahan-bahan hukum yang eksis sebagai yurisprudensi tidaklah pernah ditengok sebagai sumber hukum formal yang utama. Di Indonesia, walaupun yurisprudensi diakui sebagai sumber hukum formal, tetapi oleh karena tradisi Eropa kontinental yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda dahulu lebih mengemuka, maka tradisi itu lebih banyak digunakan. Padahal, jika dikaji secara substansial, tradisi Anglo Saxon agak lebih mirip dengan bangunan hukum adat. Disamping ketentuan dalam konstitusi, pemberlakuan hukum adat dalam hukum  positif tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu yang cukup revolusioner dan fundamental adalah ketentuan  dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mulai berlaku tanggal 24 September 1960. UUPA adalah undang undang nasional yang secara fundamental mengadakan perombakan terhadap hukum pertanahan yang berlaku. UUPA telah mencantumkan sejumlah ketentuan pokok yang isinya memberikan patokan apa dan bagaimana seharusnya hukum adat dan hak atas adat dalam sistem perundang-undangan agraria nasional. Sumbangsih hukum adat yang lain, misalnya dalam kontrak bagi hasil (bidang perminyakan), juga dalam bidang hukum tanah dan hukum perumahan (khususnya rumah susun), disamping asas pemisahan horisontal dalam UUPA. Penegasan atas penguatan eksistensi hukum adat dalam hukum nasional pasca reformasi adalah  dengan dicantumkannya dua pasal baru dalam perubahan kedua (2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B Ayat (2) yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Berikutnya, Pasal 28 1 Ayat (3) yang menyatakan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Masyarakat hukum adat juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon dalam perkara konstitusi sebagaimana tertera dengan jelas dalam Undang Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Legalitas dan legitimasi keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat sesungguhnya juga berkenaan dengan penegakan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 28 I ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa identitas budaya dan hak mereka dihormati. Pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat (MHA) tidak hanya menjadi kewajiban moral pemerintah, akan tetapi menjadi kewajiban yuridis yang harus dilaksanakan oleh pemerintah negara.

Pada pembahasan kedua bagian B, penulis membahas kedudukan dan peran ideal hukum adat dalam politik hukum nasional. Dalam konteks pemberlakuan hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional, nampaknya perlu diketengahkan dua aliran filsafat hukum yang sangat kontras tajam mempertentangkan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum, yaitu positivisme hukum dan historical jurisprudence (mazhab sejarah). Positivisme menghendaki bahwa pembuatan hukum dapat begitu saja dilakukan dengan undang-undang. Bukti kuatnya pengaruh positivisme dalam sistem hukum Indonesia adalah kuatnya keinginan melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum. Sedangkan mazhab sejarah menentang penyamaan hukum dengan undang-undang sebab hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan harus tumbuh dari kesadaran hukum masyarakat. von Savigny menegaskan bahwa seperti halnya bahasa, juga konstitusi dan perilaku masyarakat, hukum pun ditentukan oleh karakter khas dari masing-masing negara atau bangsa. Savigny menyebut karakter ini dengan jiwa bangsa (national spirit, volksgeist). Pertentangan tersebut tidak perlu dipertajam melainkan harus dipertemukan dalam keseimbangan antara hukum sebagai alat dan hukum sebagai cermin budaya masyarakat. Juga antara hukum sebagai alat untuk menegakkan ketertiban yang sifatnya konservatif (memelihara) dan hukum sebagai alat untuk membangun (mengarahkan) masyarakat agar lebih maju.

Penulis juga kembali menegaskan bahwa Konsep pemikiran legisme/positivisme sangat mempengaruhi para sarjana hukum Eropa dan Belanda. Menurut konsep ini tidak ada hukum kecuali undang-undang. Hukum tidak tertulis (termasuk hukum adat di Indonesia) dipandang bukan hukum. Konsep ini menyamakan hukum dengan undang-undang. Sebaliknya pihak mazhab sejarah menentang perundang-undangan sebagai suatu cara untuk membuat hukum karena hukum itu tidak mungkin dibuat melainkan tumbuh sendiri dari kesadaran hukum masyarakat. Pada sisi yang lain literatur hukum juga mencatat bahwa hukum dalam pengertian luas dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum adat termasuk dalam kelompok kedua. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah tidak ada satu pasalpun dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar UUD) 1945 yang mengatur tentang kedudukan hukum tidak tertulis. Bahkan  pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 banyak yang memerintahkan ketentuan pasalnya untuk diatur lebih lanjut dengan Undang-undang (undang-undang organik). Perintah pengaturan lebih lanjut ketentuan Pasal dalam UUD 1945 ke dalam undang-undang mengandung makna bahwa Negara Indonesia lebih mengutamakan hukum yang tertulis. Dengan adanya pluralitas hukum yang berlaku di Indonesia ini, hukum adatlah yang harus menjadi landasan hukum nasional. Hukum adat yang dimaksud bukanlah hukum adat yang terlahir dari keputusan-keputusan para petugas hukum, bukan pula yang telah menjelma menjadi kebiasaan, melainkan bagian dari hukum adat yang merupakan tempat segala ketentuan konkret dari hukum adat memperoleh dasar pembenarannya yang asasi. Jadi, dasar-dasar pikiran, cita-cita dan prinsip-prinsip yang membimbing hukum adat untuk melahirkan ketentuan-ketentuan hukum adat yang lebih konkret, sampai pada kenyataan-kenyataan dalam masyarakat.

Secara keseluruhan, jurnal ini sudah menjabarkan bagaimana eksistensi dan kedudukan hukum adat dalam pergumulan politik nasional yang tersetruktur dengan baik Jurnal ini memberikan gambaran mengenai eksistensi dan kedudukan hukum adat dalam pergulatan sosial politik di Indonesia. Dimana dalam era Indonesia yang modern, hukum adat adalah bagian organik dari hukum negara. Hukum negara sangat berkepentingan untuk menjaga dan memelihara hukum adat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup” dan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.  Dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia, cara berhukumnya nampaknya tidak bisa lagi didekati dengan pendekatan klasik seperti pendekatan filosofis, pendekatan normatif  dan pendekatan socio-legal, akan tetapi juga dengan pendekatan legal pluralism approach yang ditawarkan oleh Werner Menski. Pendekatan legal pluralism mengandalkan adanya pertautan antara state (positive law), sosial kemasyarakatan (socio-legal approach) dan natural law (moral/ethic/religion). Didalam jurnal ini juga telah menjabarkan keberadaan hukum adat yang dapat diberlakukan kedalam berbagai peraturan perundang-undangan. Contohnya seperti ketentuan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang Undang Pokok Agraria (UUPA); Hukum kontrak bagi hasil (bidang perminyakan); dan Hukum tanah dan hukum perumahan (khususnya rumah susun). Disamping itu, jurnal ini memuat penegasan atas penguatan eksistensi hukum adat dalam hukum nasional dengan dicantumkannya dua pasal baru dalam perubahan kedua (2000) UUD 1945, yaitu Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 1 Ayat (3). Dengan demikian kedudukan masyarakat adat dan hukum adat telah diakui dan dihormati oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan telah diatur dalam undang-undang.


 

C.    Jurnal III

1.      Identitas Jurnal

Judul         : Peranan Hukum Adat Masyarakat Dayak dalam Menyelesaikan Konflik untuk Mewujudkan Keadilan dan Kedamaian

Link           : http://eprints.uniska-bjm.ac.id/3085/1/MUHAMMAD%20ABDILLAH.pdf

Penulis       : Yuliyanto

Penerbit     : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, Jakarta Selatan

Tahun        : 2017

Volume     : Jurnal Rechts Vinding, Vol. 6 No. 1

ISSN         : 2089-9009

 

2.      Abstrak

Dua fenomena politik dan sosial utama yang muncul pada masa setelah Orde Baru adalah konflik, dan kembalinya identitas adat (revitalisasi adat) di daerah-daerah. Tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka, namun di beberapa tempat, upaya revitalisasi kelembagaan adat termasuk peran sosialnya didukung oleh berbagai pihak. Dalam konteks setelah Orde Baru, dengan fasilitasi otonomi daerah dan berlakunya desentralisasi, maka keinginan untuk memberlakukan kembali kearifan tradisional atau kerap disebut dengan “mekanisme adat” untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian mulai berkembang. Berawal dari pemahaman tersebut maka diperlukan sebuah penelitian yang mampu membahas suatu permasalahan: makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah; bagaimana posisi, peran dan pengaruh pranata adat terutama dalam pencegahan dan penghentian konflik di masyarakat; bagaimana relevansi pranata adat dikaitkan dengan Undang- Undang Nomor 7 tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta yang kemudian menuju pada identifikasi dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan penelitian lapangan dengan melakukan wawancara. Hasil dari penelitian ini memberikan rekomendasi kepada Pemerintah daerah harus melibatkan pranata adat dan tokoh adat setempat dalam penanganan konflik sosial yang terjadi di daerahnya; untuk Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang di dalamnya memuat secara komprehensif pelibatan pranata adat dan tokoh adat dalam penanganan konflik sosial.

 

3.      Review Jurnal

Jurnal ini mengkaji tentang pranata adat di Kalimantan Tengah, yaitu keberadaan Lembaga Adat Dayak yang telah diakui sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Dimana Pasal 1 angka 18 menyebutkan Kelembagaan Adat Dayak adalah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah hukum adatnya, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan dengan mengacu kepada adat-istiadat, kebiasaan- kebiasaan dan hukum adat Dayak. Maka pokok bahasan utama dalam jurnal ini ialah, yang pertama, makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah yang juga mencakup aspek sejarah, posisi, peran, fungsi; kedua, posisi, peran dan pengaruh pranata adat terutama dalam pencegahan dan penghentian konflik di masyarakat pasca Orde Baru; dan yang ketiga, relevansi pranata adat dikaitkan dengan UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dalam kasus konflik antar kelompok masyarakat.

Pada bagian pendahuluan penulis menjelaskan bahwa negara Indonesia yang merupakan negara dengan karakter sosial dan ekonomi yang heterogen. Kehadiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa merupakan sebuah fenomena unik, terutama jika dilihat dari sisi kemajemukan yang dimilikinya. Tidak saja karena demikian beragam etnis, bahasa dan keyakinan, namun pula dalam hal adaptasi ekonomi, bentuk-bentuk komunitas, sistem politik tradisional, maupun sistem kekerabatan menjadikan keindonesiaan sebagai gejala politik identitas yang menarik.

Kemudian penulis mengemukakan penjelasan, bahwa setelah masa Orde Baru muncul dua fenomena politik dan sosial utama yaitu konflik, dan kembalinya identitas adat (revitalisasi adat) di daerah-daerah, keduanya terletak dalam konteks desentralisasi atau otonomi daerah. Tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka, namun di beberapa tempat, upaya revitalisasi kelembagaan adat termasuk peran sosialnya didukung oleh berbagai pihak, antara lain organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Di sisi lain ada pula kelompok-kelompok adat yang tidak tergabung dalam AMAN namun mengatasnamakan adat bertindak atas nama kelompok masyarakat, mengklaim kejayaan masa lalu melalui warisan atau praktik kultural mereka. Dalam konteks setelah Orde Baru, dengan fasilitasi otonomi daerah dan berlakunya desentralisasi, maka keinginan untuk memberlakukan kembali kearifan tradisional atau kerap disebut dengan “mekanisme adat” mulai berkembang. Selain melatarbelakangi munculnya gelombang tuntutan revitalisasi identitas lokal termasuk aspek adat, situasi politik pasca Orde Baru yang transisional itu hingga tinggi di beberapa wilayah. Konflik-konflik dengan berbagai dimensi muncul dalam kondisi lingkungan kelembagaan politik pusat maupun daerah yang lemah, di mana-mana terjadi peralihan kepemilikan kekuasaan dan sumber daya, serta di saat yang sama muncul tantangan terhadap kepentingan-kepentingan strategis yang awalnya eksklusif, baik di ranah kekuasaan pusat maupun di daerah.

Munculnya sebuah konflik dikarenakan adanya perbedaan dan keberagaman di Indonesia yang semakin lama menunjukkan adanya konflik dari setiap tindakan-tindakan yang terjadi dan konflik tersebut terbagi secara horizontal dan vertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang berkembang di antara anggota kelompok, sepertinya konflik yang berhubungan antara suku, agama, ras, dan antar golongan. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan juga negara atau pemerintahan. Umumnya konflik tersebut muncul karena masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintahan. Di sisi lain, masyarakat Indonesia yang heterogen sebagian masih mengakui eksistensi tradisi atau adat yang bersumber dari nilai-nilai budaya mereka. Pranata adat ini dapat ditelusuri sebagian dari artefak kultural, ada yang pernah difungsikan dalam mekanisme penyelesaian konflik, baik yang berada pada tataran antar individu maupun antar kelompok. Diletakkan dalam konteks Indonesia pasca Soeharto di mana ketidakpercayaan atau ketidakpuasan masyarakat pada mekanisme penyelesaian konflik secara formal, kerap muncul di satu sisi, dan adanya upaya untuk merevitalisasi tradisionalitas termasuk mencakup aspek fungsi lembaga adat (sebagaimana dalam kasus-kasus di Kalimantan Tengah. Dengan begitu, tampaklah urgensi pelibatan pranata adat dalam penghentian dan pencegahan konflik Indonesia khususnya di Kalimantan Tengah, kian relevan. Di titik ini, ia merupakan upaya kreatif untuk menghindari atau mencegah terjadinya tumpang tindih penyelesaian konflik melalui mekanisme adat yang tergolong sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) dengan mekanisme formal (misalnya pengadilan) harus dipetakan secara jelas tipologi konflik dan aktor-aktor konfliknya.

Pada bagian pengantar pembahasan penulis memaparkan bahwa, mengenai pelibatan peran pranata adat yang memakai hukum adat dalam penghentian dan pencegahan konflik masih menjadi solusi yang tepat, seperti konflik antar suku pada tahun 2001 yang mengakibatkan empat orang dayak meninggal, fasilitas umum dan kantor Kepolisian banyak yang dihancurkan, tetapi dengan mengedepankan hukum adat dari pada hukum positif, maka berakhir dengan damai.

Kemudian pada bagian pembahasan pertama penulis mengemukakan penjelasan mengenai makna dan cakupan pranata adat di Kalimantan Tengah. Bahwasanya, saat ini yang dimaksudkan dengan adat (kebiasaan setempat atau lokal) dan pranata adat (sistem kebiasaan lokal) di Kalimantan Tengah masih dilihat erat kaitannya dengan pola hidup masyarakat asli atau indigenous people, orang Dayak. Namun demikian perlu juga diingat bahwa konteks masyarakat di Kalimantan Tengah tidaklah hanya didiami oleh orang Dayak saja melainkan telah didiami oleh berbagai migran dari kota-kota lain di Indonesia. Dengan demikian, adat dan pranata adat sudah pasti mengalami perubahan dalam proses yang cukup lama, apalagi yang berkait dengan masalah hukum positif.

Keinginan untuk mempertahankan adat istiadat Dayak sebagai basis dari budaya lokal mendapatkan respons dari kalangan pemerintah daerah. Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, dimana ruang untuk mengekspersikan identitas kultural semakin mendapat tempat, penguatan ekspresi kultural Dayak di Kalimantan Tengah salah satunya diwujudkan dengan terbentuknya lembaga adat Dayak Kalimantan Tengah. Namun ada perbedaan dalam memandang penguatan identitas Dayak ini. Perspektif yang berbeda itu tidak lain adalah bersumber dari kerapnya muncul idiom-idiom “melestarikan budaya local”, bahkan “pemurnian” dan “mempertahankan” kebudayaan daerah. Secara konseptual, kritik terhadap sudut pandang yang cenderung eksistensialis dalam memandang identitas ke-Dayak-an ini berasal dari argument untuk tidak terjebak dalam kotak-kotak fanatisme kesukuan, namun, hal inilah yang justru tampak ketika pecah konflik Dayak dan Madura di tahun 2001. Sementara itu, di konteks pasca Orde Baru, di atas telah disinggung bahwa terjadi instrumentasi terhadap penguatan budaya Dayak melalui formalisasi adat Dayak ke dalam Majelis Adat Dayak Nasional (MADN)-Dewan Adat Dayak (DAD). Upaya ini lalu diformalkan melalui Perda Nomor 16 Tahun 2008. Pada awalnya, inisiatif ini menjadi rekognisi aspek adat untuk mendorong pembangunan manusia, sebab berlangsung dalam ruang dimana orang Dayak tidak melihat dirinya sebagai korban melainkan “survivor”. MADN-DAD inilah yang mempunyai otoritas untuk melalukan pelembagaan mulai di tingkat Provinsi hingga Kecamatan, dimana terdapat Damang Adat yang kantornya terletak di Kecamatan. Damang-damang adat ini disandarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah yang diperbarui oleh Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16/ 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan Daerah tersebut juga dikuatkan oleh Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 13 Tahun 2009 mengenai Tanah adat dan Hak-hak Adat di atas tanah di Provinsi Kalimantan Tengah.

Dari aspek kelengkapan peraturan untuk instrumentasi kelembagaan adat, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 yang dilengkapi dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Surat Keterangan Tanah Adat (SKT Adat) yang kuasanya berada di tangan Damang adat ini telah cukup lengkap. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 ini mengatur mulai dari persoalan kelembagaan adat (pembentukan lembaga kedemangan, fungsi, kedudukan tugas damang kepala adat); persoalan mekanisme pembentukan struktur organisasi (pemililihan dan pengangkatan Damang kepala adat, hak memilih dan dipilih); mengenai penyelesaian sengketa adat, dan jenis-jenis sanksi yang dikenakan. Pergub ini juga mengatur mengenai Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak, Mantir adat, hak-hak adat dan mengenai pembiayaan. Khususnya dalam hal pembiayaan ini, Bab XXVI Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pemda provinsi wajib untuk memberikan bantuan melalui APBD terhada pelaksaaan program kerja Majelis Adat Dayak Provinsi, lembaga Kadamangan, Dewan Adat Dayak Nasional di Kalimantan Tengah dan Dewa Adat Dayak di Kabupaten/Kota hingga DAD di Desa/Kelurahan. Tampaknya mengintegrasikan instrument adat dalam pemerintahan daerah memang telah menjadi bagian dari komitmen Pemda Provinsi Kalimantan Tengah, terutama jika kita memahami konteks pasca konflik di Kalimantan Tengah.

Selanjutnya pada pembahasan kedua mengenai posisi, peran dan pengaruh pranata adat terutama dalam pencegahan dan penghentian konflik di masyarakat Kalimantan Tengah pasca Orde Baru. Aktivasi pranata adat di Kalimantan Tengah saat ini dicakup dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 khususnya Bab X (pasal 27-32) tentang penyelesaian Sengketa; dan Bab XI tentang Jenis Sanksi. Sengketa yang dimaksudkan dalam hal ini berkaitan dengan sengketa adat, di mana dapat diajukan pada Kerapatan Mantir (pembantu Damang Adat) yang terletak di wilayah Desa/Kelurahan maupun Kecamatan. Pengaduan terhadap kasus adat ini juga mencakup aspek yang terkait dengan perselisihan di wilayah rumah tangga (misalnya   perselingkuhan) yang harus diselesaikan dengan membayar denda adat (“singer”) atau bentuk-bentuk sanksi adat lainnya. Selain itu, mekanisme penyelesaian sengketa ini juga berpijak pada metode musyawarah adat. Dengan model penyelesaian konflik yang berjenjang, suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan di tingkat Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di Desa atau Kelurahan makan akan dibawa untuk diselesaikan di tingkat Kerapatan mantir/Let Perdamaian Adat tingkat Kecamatan. Sanksi yang diberikan pun dijatuhkan setelah melalui pengambilan keputusan Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat di tingkat kecamatan dan sifatnya mengikat. Ada pula mekanisme Sumpah Adat yang diberlakukan jika ada suatu kasus yang sulit untuk dibuktikan. Dalam suatu kasus, maka pemberian keputusan adat pada pihak yang bersengketa akan menjadi pertimbangan bagi aparat hukum yang memang terlibat dalam penyelesaian perkara. Barangkali perlu ditelusuri sejauh mana aspek pemberian sanksi adat atau keputusan untuk menyelesaikan perkara secara adat ini akan overlap dengan mekanisme pemberian hukum dari ranah hukum positif. Tampaknya kedepan, perlu diikuti bagaimana pelaksanaan Pergub Kalimantan Tengah mengenai SKT yang tidak berpotensi konflik dengan aspek legal kepemilikan tanah lainnya. Hal ini disebabkan bahwa klaim terhadap SKT Adat telah cenderung berpotensi konflik karena suatu individu atau kelompok atas nama adat Dayak dapat mengklaim kepemilikan tanah tertentu Sementara ini, konteks pembangunan daerah yang sarat dengan investasi untuk perkebunan sawit juga telah menuai pertikaian antara orang Dayak versus perusahaan sawit. Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa meningkatnya klaim akan tanah adat juga mendesak kepemilikan tanah dari migran atau orang non Dayak di perkotaan (Palangkaraya).

Pembahasan ketiga mengenai relevansi pranata adat dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang penanganan konflik sosial dalam kasus konflik sosial. Dimana penulis menjelaskan bahwa secara ideal, dengan adanya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 7 Tahun 2012 maka ke depan dapat diarahkan suatu kebijakan yang tidak tumpang tindih bahkan dapat terintegrasi. Setidaknya jika kita menggunakan perspektif “pencegahan konflik” maka substansi penyelesaian sengketa adat yang dimaksudkan tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dapat menjadi instrumen untuk itu. Selain itu, ketika mensinkronkan antara relevansi pranata adat yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012, dapat dipetakan bahwa dalam suatu konteks masyarakat yang heterogen terdapat triangulasi untuk aktor-aktor yang terlibat dalam resolusi konflik, yang digambarkan oleh penulis sebagai berikut:


Diagram 1. Aktor-aktor Resolusi Konflik (secara umum maupun di Kalimantan Tengah)

 

Pada dasarnya, dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 ketiga kelompok aktor yang ada di dalam diagram di atas telah terlibat pada aspek konseptual maupun praktik penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah. Khususnya pada konteks reformasi pasca Order baru, Masyarakat Sipil (termasuk kelompok adat) telah banyak mengambil peran melalui agenda workshop, fasilitasi dialog, dan dalam konteks Kalimantan Tengah.

Peran pemerintah dalam Pencegahan Konflik adalah harmonisasi produk hukum di daerah dengan peraturan lebih tinggi yang rights-based approached; melakukan peningkatan kapasitas aparat pemerintah, aparat keamanan, aparat penegak hukum; memanfaatkan institusi yang sudah eksis sebelumnya seperti religious-based organizations atau organisasi etnik, profesi, dan sebagainya.

Berbagai upaya untuk menjaga stabilitas keamanan yang telah dilakukan oleh pranata adat di Kalimantan Tengah, adalah untuk mewujudkan keadilan dan kedamaian. Karena dengan kedamaian bangsa kita dapat melanjutkan pembangunan yang dapat dirasakan oleh masyarakat secara adil, selain itu dengan kedamaian bangsa Indonesia dapat mengisi kemerdekaan sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh para pahlawan. Eksistensi Pranata Adat Dayak merupakan pencerminan upaya masyarakat dayak dalam menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya adat melalui penerapan adat istiadat dan hukum adat pada kehidupan masyarakat. Pemerintah juga memandang penting pengembangan adat istiadat ini, karena dengan masih terpeliharanya adat istiadat, berarti masyarakat masih menjunjung tinggi hukum adat yang ada di Indonesia. Karena hukum adat inilah satu-satunya hukum atau norma yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sejak dari dahulu kala. Presiden Soeharto pernah mengemukanan bahwa “Bangsa yang lupa budayanya akan kehilangan kepribadiannya, bangsa yang kehilangan kepribadiannya menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang lemah akan runtuh dari luar dan hancur dari dalam.” Atas dasar itu bangsa Indonesia harus berusaha terus menerus memelihara semua warisan budaya dan adat istiadat. Sekali saja suatu generasi melupakan budayanya sendiri, maka warisan budaya itu akan lenyap. Adat istiadat dan Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah sejak dahulu telah tumbuh dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat adat. Meskipun demikian, pemberlakuan Hukum Adat di Kalimantan Tengah tetap dengan tidak mengesampingkan Hukum Nasional.

Jurnal ini memiliki judul dan pokok bahasan yang menarik, selain itu secara keseluruhan jurnal ini sudah tersusun secara baik. Namun pada bagian pendahuluan lebih banyak membahas mengenai kerusuhan dan konflik yang terjadi pasca Orde Baru dibandingkan dengan konflik yang berkaitan langsung dengan Pranata Adat atau Lembaga Adat Dayak di Kalimanatan Tengah. Selain itu, di dalam jurnal tersebut kurang menjelaskan mengenai contoh konflik yang terjadi maupun praktik Hukum Adat oleh Lembaga Adat Dayak dalam mengatasi konflik yang terjadi di tengah masyarakat. Akan tetapi jurnal ini mampu memberikan gambaran bahwasanya pranata adat sangat berpengaruh dan pengaruhnya tidak hanya pada peran saja tetapi juga ada legalitas mengenai kewenangan kelembagaan adat yang dibentuk oleh pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik terutama pada level yang menyangkut masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dan Undang-Undang Penaganan Konflik Sosial Nomor 7 Tahun 2012 yang dipandang masih tumpang tindih, maka ke depan dapat diarahkan suatu kebijakan yang tidak tumpang tindih bahkan dapat terintegrasi. Setidaknya jika kita menggunakan perspektif “pencegahan konflik” maka substansi penyelesaian sengketa adat yang dimaksudkan tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 dapat menjadi instrumen untuk pencegahan dan penghentian konflik antar kelompok masyarakat.