MAKALAH
UNSUR KEBUDAYAAN
UNIVERSAL
SISTEM RELIGI MASYARAKAT
TORAJA
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar
Antropologi
Dosen :
Dra. Hj. Fatimah, M.Hum.
OLEH :
Andya Agisa
[1610112220003]
FAKULTAS KEGURUAN & ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2016
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah SWT. Atas izin-Nya lah saya
dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tak lupa pula shalawat serta salam
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Beserta keluargaNya, para sahabatNya,
dan seluruh ummatNya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Antropologi
berjudul “Unsur Kebudayaan Universal
Sistem Religi Masyarakat Toraja”.
Saya mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Ibu
Dra.Hj.
Fatimah, M.Hum. selaku
dosen Pengantar Antropologi yang
telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya memperoleh banyak manfaat setelah
menyusun makalah ini.
Akhirul kalam, saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna, baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki.
Karena itu saya
mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi perbaikan makalah di masa
mendatang. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan memenuhi harapan
berbagai pihak.
Demikian
makalah ini saya susun, semoga bisa memberikan manfaat kepada pembaca.
Banjarmasin, 20 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................ i
Daftar Isi..................................................................................... ii
BAB 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang........................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah................................................................... 3
C. Tujuan
Penulisan..................................................................... 3
D. Sistematika
Penulisan............................................................. 3
BAB 2
Landasan Teori
A. Kebudayaan............................................................................ 4
B. Wujud
Kebudayaan................................................................. 6
C. Unsur-unsur
Universal dan Sifat Hakekat Kebudayaan.......... 8
D. Teori-teori
Religi................................................................... 14
E. Pengaruh Unsur
Kebudqayaan Terhadap Masyarakat.......... 20
BAB 3
Pembahasan
A. Suku Toraja.......................................................................... 21
B. gama dan
Kepercayaan......................................................... 23
C. Jenis-jenis
Ritus.................................................................... 25
D. Proses Upacara
Rambu Solo................................................. 28
E. Pelakasanaan
Upacara Rambu Solo...................................... 31
BAB 4
Penutup
A. Kesimpulan........................................................................... 33
B. Saran..................................................................................... 33
Lampiran.................................................................................. 34
Daftar Pustaka.......................................................................... 40
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kemampuan otak manusia
untuk membentuk gagasan-gagasan dari konsep-konsep dalam akalnya menyebabkan
bahwa ia mampu membayangkanan dirinya sendiri terlepas dari lingkungannnya,
yang merupakan dasar dari kesadaran akan identitas dan kepribadian dirinya.
Berbagai jenis hewan juga memiliki identitas diri, namun kesadaran akan
identitas itu tidaklah setajam manusia, karena dangan akalnya manusia memiliki
kemampuan untuk membayangkan peristiwa-peristiwa yang mungkin menimpa dirinya,
baik yang membahagiakannya maupun yang dapat membawa kesengsaraan baginya.
Sesuatu hal yang paling ditakuti manusia adalah apa yang pasti akan dialaminya,
yaitu saat manusia menghadapi maut, yang kemudian merupakan salah satu sebab
timbulnya religi.
Sekurangnya ada dua konsep umum yang
menerangkan tentang ‘kepercayaan’ kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap
Tuhan, yaitu antara konsep agama dan konsep religi. Koentjaraningrat (1987),
sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan
bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan; dalam banyak hal yang
membahas tentang konsep ketuhanan beliau lebih menghindari istilah ‘agama’ ,
dan lebih menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu ‘religi’. Ada juga yang
berpendirian bahwa suatu sistem religi merupakan suatu agama,tetapi itu hanya
berlaku bagi penganutnya saja; sistem religi Islam merupakan agama bagi anggota
umat Islam, sistem religi Hindu Dharma merupakan suatu agama bagi orang Bali;
ada juga pendirian lain yang mengatakan bahwa agama adalah semua sistem religi
yang secara resmi diakui oleh negara.
Sebenarnya pendapat
Koentjaraningrat di atas yang mengatakan bahwa religi adalah bagian dari
kebudayaan karena beliau mengacu pada sebagain konsep yang dikembangkan oleh
Emile Durkheim (1912) mengenai dasar-dasar religi dengan empat dasar komponen,
yaitu :
1. emosi
keagamaan, sebagai suatu substansi yang menyebabkan manusia menjadi religius;
2. sistem
kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan manusia tentang
sifat-sifat Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan, serta tentang wujud dari
alam gaib (supernatural);
3. Sistem
upacara religius yang bertujuanmencari hubungan manusia dengan Tuhan, Dewa-dewa
atau Mahluk-mahluk halus yang mendiami alam gaib;
4. kelompok-kelompok
religius atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistem kepercayaan--tersebut.
Keempat komponen
tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem
yang terintegrasi secara bulat; emosi keagamaan merupakan suatu getaran yang
menggerakkan jiwa manusia. Proses-proses fisiologis dan psikologis apakah yang
terjadi apabila manusia terhinggap oleh getaran jiwa tadi, agaknya belum banyak
diteliti oleh orang-orang yang berkepentingan tentangnya, namun demikianlah
kira-kiranya keadaan jiwa manusia yang dimasuki cahaya Tuhan.
Terlepas dari pendapat
perorangan ataupun batasan-batasan tertentu yang ditetapkan sebuah negara
tentang konsep religi atau agama ini, yang jelas menurut konsep ilmu
pengetahuan dan agama-agama yang ada di muka bumi ini menyatakan bahwa suatu
bentuk aktifitas manusia yang dianggap sebagai suatu penyerahan diri terhadap
Zat yang dianggap mengatur, menciptakan, atau menentukan kehidupan manusia di
dunia dimana manusia hidup dan di dunia dimana manusia sudah mati yang mengacu kepada
konsep E. Durkheim di atas dapat disebut sebagai agama.
Tidak semua perilaku
keagamaan atau religi itu adalah khas manusia; untuk ajaran Islam misalnya
bahkan hampir seluruh aktifitas keagamaan itu sumbernya adalah wahyu Tuhan, dan
hanya sedikit sekali unsur-unsur gagasan manusia disana, demikian juga dengan
agama-agama yang lain yang menganggap berbagai aktifitas itu sumbernya adalah
Tuhan. Disini agama itu dipisahkan dengan kebudayaan, pada aktifitas-aktifitas
tertentu yang tujuannnya adalah penyerahan diri (taat, bakti, doa, pemujaan,
penyembahan dan sebagainya) pada Tuhan atau yang dianggap sebagai Tuhan,
walaupun ada gagasan-gagasan atau tangan-tangan manusia yang turut di dalamnya
merupakan aktifitas keagamaan; dilain fihak, segala bentuk tindakan, gagasan,
dan hasil tindakan khas manusia yang relatif tidak melibatkan unsur-unsur
keagamaan atau tidak dimaksudkan sebagai bentuk ritual tertentu, itulah
kebudayaan.
Sebelum diuraikan lebih
lanjut mengenai hal-hal yang berhubungan dengan religi, perlu ditekankan
terlebih dahulu tentang penggunaan peristilahan, dan pendekatan dalam studi
tentang religi ini. Untuk peristilahan, dalam buku ini selanjutkan lebih banyak
menggunakan istilah religi sebagai terjemahan dari religion daripada
istilah agama, karena istilah agama bagi banyak orang Indonesia mempunyai arti
tertentu seperti agama Islam atau Nasrani misalnya.
Studi tentang religi
yang dikembangkan adalah merupakan tinjauan antropologis, dimana ilmu tentang
manusia ini sebagai ilmu yang mencoba merumuskan pengertian-pengertian dan
konsepnya melalui penyelidikan yang empiris, dan obyek-obyek yang akan
diselidiki terutama adalah tingkah laku dan tatakelakuan manusia. Dengan
mengadakan studi komparatif, antropologi mencoba memahami asal usul tentang
religi, fungsi religi, keberadaan, persebaran, dan pengaruhnya dalam kehidupan
manusia.
1. Bagaimana perkembangan agama dan
kepercayaan di Toraja pada masa lampau?
2. Apa saja yang menjadi ritual-ritual
penting yang sering dilaksanakan masyarakat Toraja?
3. Bagaimana Prosesi Ritual Rambu Solo
di Tana Toraja?
C.
TUJUAN
PENULISAN
·
Tujuan Umum : Sebagai media pembelajaran mahasiswa
·
Tujuan
Khusus :
-
Agar mahasiswa mengetahui perkembangan
agama dan kepercayaan di Toraja pada masa lampau
-
Agar
mahasiswa mengetahui Apa saja yang menjadi ritual-ritual
penting yang sering dilaksanakan masyarakat Toraja
-
Agar
mahasiwa mengetahui Prosesi Ritual Rambu Solo di Tana
Toraja
D.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Guna memahami lebih jelas penulisan
makalah Unsur Kebudayaan Universal SistemReligi Masayarakat Toraja ini,
dilakukan dengan cara mengelompokkan materi menjadi beberapa sub bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN
kan tentang informasi umum yaitu
latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB
II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan
teori yang diambil dari beberapa kutipan buku,jurnal, dan artikel yang berupa
pengertian dan definisi. Bab ini juga menjelaskan konsep dasar sistem, konsep
dasar informasi, konsep dasar sistem informasi, Unified Modelling Language (UML),
dan definisi lainnya yang berkaitan dengan sistem yang dibahas.
BAB
III : PEMBAHASAN DAN ANALISA MASALAH
Bab
ini berisikan gambaran dan sejarah singkat mengenai Agama dan
Kepercayaan masyarakat Toraja, Jenis-jenis upacara ritual dimasyarakat Toraja, bagaimana Proses Upacara Rambu Solo’
dan Pelaksanaan
Upacara Rambu Solo
BAB I
V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran
yang berkaitan dengan analisa dan optimalisasi sistem berdasarkan yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya.
Daftar Pustaka
BAB 2
LANDASAN TEORI
A.
KEBUDAYAAN
Istilah
kebudayaan merupakan tejemahan dari istilah culture dari bahasa Inggris. Kata
culture berasa dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan,
menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman dan ternak.
Upaya untuk mengola dan mengembangkan tanaman dan tanah inilah yang selanjutnya
dipahami sebagai culture.
Sementara
itu, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah yang merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi. Kata buddhi berarti budi dan akal. Kamu besar
Bahasa Indonesia mengartikan kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budaya) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat – istiadat.
E.B.
Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt-istiadat, kebiasaan serta
kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Menurut
Koentjaningrat (1985) kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Definisi
lebih singkat terdapat pada pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
(1964), menurut mereka kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Bila
disimak lebih seksama, definisi Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi lebih
menekankan pada aspek hasil material an kebudayaan. Sementara Koentjaraningrat
menekankan dua aspek kebudayaan yaitu abstrak (non material) dan konkret
(material. Pada definisi Koentjaraningrat, tampak bahwa kebudayaan merupakan
suatu proses hubungan manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam proses tersebut manusia berusaha
mengatasi permasalahan dan tantangan yang ada dihadapannya.
Terlepas
dari perbedaan yang ada di antara pendapat di atas. Tampak bahwa belajar
merupakan unsur penting dari pengertian kebudayaan. Seperti terlihat pula pada
definisi kebudayaan menurut Kroeber (1948). Menurutnya, kebudayaan adalah
keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai
yang dipelajari dan diwariskan, serta perilaku yang ditimbulkannya.
Dalam
disiplin Ilmu Antropologi Budaya, pengertian Kebudayaan dan Budaya tidak
dibedakan. Adapun pengertian Kebudayaan dalam kaitannya dengan Ilmu Sosial
Budaya Dasar (ISBD) adalah: “Penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai
insani yang tercakup di dalamnya usaha memanusiakan diri di dalam alam
lingkungan, baik fisik maupun sosial”. Manusia memanusiakan dirinya dan
memanusiakan lingkungannya.
Herkovits
yang dikenal dengan bukunya yang berjudul “MAN
AND HIS WORK” telah memberikan Dalil tentang Teori Kebudayaan, yaitu:
1.
Kebudayaan dapat dipelajari.
2.
Kebudayaan berasal atau bersumber dari
segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia.
3.
Kebudayaan mempunyai struktur.
4.
Kebudayaan dapat dipecah-pecah ke dalam
berbagai aspek.
5.
Kebudayaan bersifat dinamis.
6.
Kebudayaan mempunyai variabel.
7.
Kebudayaan memperlihatkan keteraturan
yang dapat danalisis dengan metode ilmiah.
8.
Kebudayaan merupakan alat bagi seseorang
untuk mengatur keadaan totalnya dan menambah arti bagi kesan kreatifnya.
B. WUJUD KEBUDAYAAN
J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan
adanya tiga ‘gejala kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) activities,
dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang
mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang
kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda
hasil karya manusia.
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku
Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai
berikut :
1.
Wujud
Ide
Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan,
sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada
di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan
memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat
sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
2.
Wujud
perilaku
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial,
karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud
ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial
ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu
dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan
bahasa.
3.
Wujud
Artefak
Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya
merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Contohnya : candi, bangunan, baju, kain komputer dll.
Menurut
Dimensi Wujudnya, maka Kebudayaan mempunyai 3 wujud, yaitu:
1.
Wujud Sistem Budaya Sifatnya Abstrak,
Tidak bisa dilihat.
Berupa kompleks gagasan, ide-ide,
konsep, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang berfungsi untuk
mengatur,mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia serta
perbuatannya dalam masyarakat. Disebut sebagai Sistem Budaya karena gagasan,
pikiran, konsep, norma dan sebagainya tersebut tidak merupakan bagianbagian
yang terpisahkan, melainkan saling berkaitan berdasarkan asas-asas yang erat
hubungannya sehingga menjadi sistem gagasan dan pikiran yg relatif mantap dan
kontinyu.
2.
Wujud Sistem Sosial Bersifat Konkret,
dapat diamati atau diobservasi.
Berupa aktivitas manusia yang saling
berinteraksi dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata
kelakuan yang ada dalam masyarakat. Gotong royong, kerja sama, musyawarah, dan
sebagainya.
3.
Wujud Kebudayaan Fisik
Aktivitas manusia yang saling
berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya
manusia untuk mencapai tujuannya. Hasil karya manusia tersebut pada akhirnya
menghasilkan sebuah benda dalam bentuk yang konkret sehingga disebut Kebudayaan
Fisik. Berupa benda-benda hasil karya manusia, seperti candi-candi, prasasti,
tulisan-tulisan (naskah), dan sebagainya.
C. UNSUR UNSUR UNIVERSAL KEBUDAYAAN
dan SIFAT HAKEKAT KEBUDAYAAN
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat
terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian
dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan (Soekanto, 2003:175).
Karena itu, suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores), tetapi suatu sistem perilaku
yang terorganisasi.
Luasnya bidang kebudayaan menimbulkan adanya
telaahan mengenai apa sebenarnya unsur-unsur kebudayaan itu. Herkovits
(Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, 1964:115) mengemukakan adanya empat unsur
pokok dalam kebudayaan, yaitu 1) alat-alat teknologi (technological equipment), 2) sistem ekonomi (economic sistem), 3) keluarga (family),
dan 4) kekuasaan politik (political
control).
Selanjutnya Bronislaw Malinowski (Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi, 1964:115) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1)
The
normative system
(yang dimaksudkan adalah sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara
para anggota masyarakat agar menguasai alam sekitarnya.
2)
Economic
organization
(organisasi ekonomi),
3)
Mechanism
and agencies of education
(alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan dimana
keluarga merupakan lembaga pendidikan yang utama, dan
4)
The
organization of force
(organisasi militer).
Menurut Soekanto (2003:176), untuk
kepentingan ilmiah dan analisisnya, masing-masing unsur tersebut
diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok (besar) kebudayaan yang lazim
disebut cultural universal. Istilah
ini menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat
dijumpai pada setiap kebudayaan di manapun di dunia ini.
Kluckhohn menguraikan adanya tujuh unsur
kebudayaan yang dianggap sebagai cultural
universal, yaitu:
1.
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
(pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi
transportasi dan sebagainya)
2.
Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem
ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan
sebagainya)
3.
Sistem kemasyarakatan (sistem
kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan)
4.
Bahasa (lisan maupun tertulis)
5.
Kesenian (seni rupa, seni suara, seni
gerak, dan sebagainya)
6.
Sistem pengetahuan
7.
Religi (sistem kepercayaan)
(Koentjaraningrat, 1994:9;
Soekanto, 2003:176)
1)
Peralatan dan perlengkapan hidup
manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat
produksi transportasi dan sebagainya)
Manusia selalu
berusaha untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat
peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para antropolog dalam
memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu
masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan
bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang
unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan
bahasan kebudayaan fisik.
2) Mata
pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dan sebagainya)
Mata pencaharian
atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi.
Penelitian etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara
mata pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sistem ekonomi pada masyarakat tradisional,
antara lain: berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap
ikan dan bercocok tanam menetap dengan sistem irigasi.
Pada saat ini
hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi suatu masyarakat yang
berbasiskan pada sektor pertanian. Artinya, pengelolaan sumber daya alam secara
langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam sektor pertanian hanya
bisa ditemukan di daerah pedesaan yang relatif belum terpengaruh oleh arus
modernisasi.
Pada saat ini pekerjaan sebagai karyawan kantor menjadi sumber penghasilan utama dalam mencari nafkah. Setelah berkembangnya sistem industri mengubah pola hidup manusia untuk tidak mengandalkan mata pencaharian hidupnya dari subsistensi hasil produksi pertaniannya. Di dalam masyarakat industri, seseorang mengandalkan pendidikan dan keterampilannya dalam mencari pekerjaan.
Pada saat ini pekerjaan sebagai karyawan kantor menjadi sumber penghasilan utama dalam mencari nafkah. Setelah berkembangnya sistem industri mengubah pola hidup manusia untuk tidak mengandalkan mata pencaharian hidupnya dari subsistensi hasil produksi pertaniannya. Di dalam masyarakat industri, seseorang mengandalkan pendidikan dan keterampilannya dalam mencari pekerjaan.
3) Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan)
Unsur budaya
berupa sistem kekerabatan dan organisasi social merupakan usaha antropologi
untuk memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok
sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur
oleh adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam
lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial
yang paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat
dan kerabat yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam
tingkatantingkatan lokalitas geografis untuk membentuk organisasi social dalam
kehidupannya.
Kekerabatan
berkaitan dengan pengertian tentang perkawinan dalam suatu masyarakat karena
perkawinan merupakan inti atau dasar pembentukan suatu komunitas atau
organisasi sosial.
4) Bahasa
(lisan maupun tertulis)
Bahasa merupakan
sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau
berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu antropologi, studi mengenai bahasa
disebut dengan istilah antropologi linguistik. Menurut Keesing, kemampuan
manusia dalam membangun tradisi budaya, menciptakan pemahaman tentang fenomena
sosial yang diungkapkan secara simbolik, dan mewariskannya kepada generasi
penerusnya sangat bergantung pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki
porsi yang penting dalam analisa kebudayaan manusia.
Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasivariasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan bahasa sering terjadi.
Menurut Koentjaraningrat, unsur bahasa atau sistem perlambangan manusia secara lisan maupun tertulis untuk berkomunikasi adalah deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan beserta variasivariasi dari bahasa itu. Ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsa tersebut dapat diuraikan dengan cara membandingkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga dan subkeluarga. Menurut Koentjaraningrat menentukan batas daerah penyebaran suatu bahasa tidak mudah karena daerah perbatasan tempat tinggal individu merupakan tempat yang sangat intensif dalam berinteraksi sehingga proses saling memengaruhi perkembangan bahasa sering terjadi.
5) Kesenian
(seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
Perhatian ahli
antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi mengenai aktivitas
kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang dikumpulkan dalam
penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau artefak yang memuat unsur
seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan etnografi awal tentang
unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada teknikteknik dan proses
pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi etnografi awal tersebut
juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni drama dalam suatu
masyarakat.
Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis, dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui indera pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni tradisional adalah wayang, ketoprak, tari, ludruk, dan lenong. Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan koreografi.
Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni patung, seni relief, seni ukir, seni lukis, dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Selain itu, terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui indera pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni tradisional adalah wayang, ketoprak, tari, ludruk, dan lenong. Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan koreografi.
6) Sistem
pengetahuan
Sistem
pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup
dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di dalam
ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena mencakup
pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam kehidupannya.
Masyarakat
pedesaan yang hidup dari bertani akan memiliki sistem kalender pertanian
tradisional yang disebut system pranatamangsa yang sejak dahulu telah digunakan
oleh nenek moyang untuk menjalankan aktivitas pertaniannya. Menurut Marsono,
pranatamangsa dalam masyarakat Jawa sudah digunakan sejak lebih dari 2000 tahun
yang lalu. Sistem pranatamangsa digunakan untuk menentukan kaitan antara
tingkat curah hujan dengan kemarau.
Melalui sistem
ini para petani akan mengetahui kapan saat mulai mengolah tanah, saat menanam,
dan saat memanen hasil pertaniannya karena semua aktivitas pertaniannya
didasarkan pada siklus peristiwa alam. Sedangkan Masyarakat daerah pesisir
pantai yang bekerja sebagai nelayan menggantungkan hidupnya dari laut sehingga
mereka harus mengetahui kondisi laut untuk menentukan saat yang baik untuk
menangkap ikan di laut. Pengetahuan tentang kondisi laut tersebut diperoleh
melalui tanda-tanda atau letak gugusan bintang di langit.
Banyak suku
bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila mereka tidak mengetahui dengan
teliti pada musim-musim apa berbagai jenis ikan pindah ke hulu sungai. Selain
itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat apabila tidak mengetahui dengan
teliti ciriciri bahan mentah yang mereka pakai untuk membuat alat-alat
tersebut. Tiap kebudayaan selalu mempunyai suatu himpunan pengetahuan tentang
alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan manusia yang ada di sekitarnya.
Menurut Koentjaraningrat, setiap suku bangsa di dunia memiliki pengetahuan
mengenai, antara lain: alam sekitarnya, tumbuhan yang tumbuh di sekitar daerah
tempat tinggalnya, binatang yang hidup di daerah tempat tinggalnya, zat-zat,
bahan mentah, dan benda-benda dalam lingkungannya, tubuh manusia, sifat-sifat
dan tingkah laku manusia, ruang dan waktu.
7) Religi
(sistem kepercayaan)
Koentjaraningrat
menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah
adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib
atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa
manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut.
Dalam usaha
untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab lahirnya asal mula
religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di
luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh
umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan mereka masih primitif.
(Koentjaraningrat, 1994:9; Soekanto, 2003:176)
Cultural universal tersebut di atas, dapat dijabarkan
lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Linton (Soekanto, 2003:177)
menjabarkan unsur-unsur tersebut menjadi kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity), yang dirinci ke
dalam trait complex, dan dirinci lagi
ke dalam item. Penjabaran unsur-unsur
universal selanjutnya dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, Kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity). Sebagai contoh, cultural universal mata pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain
mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan
seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain.
Kedua, trait-complex, sebagai rincian dari kegiatan-kegiatan
kebudayaan dicontohkan dengan kegiatan pertanian menetap yang meliputi
unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, teknik mengendalikan
bajak, dan seterusnya. Dan ketiga, unsur
kebudayaan terkecil yang membentuk traits
adalah items. Apabila diambil contoh
dari alat bajak tersebut di atas, maka bajak terdiri dari gabungan alat-alat
atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat dilepaskan, akan tetapi
pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak
tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
bajak.
Menurut Bronislaw Malinowski tak ada suatu unsur kebudayaan
yang tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai
keseluruhan (Soekanto, 2003:177). Apabila ada unsur kebudayaan yang kehilangan
kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Kebiasaan-kebiasaan
serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar serta dasar-dasar untuk
organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga memungkinkan pemuasan
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beraneka
ragam dan berbeda-beda, namun menurut Soekanto (2003:182) setiap kebudayaan
mempunyai sifat hakikat yang berlaku
umum bagi semua kebudayaan di manapun berada, yaitu:
1)
Kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari peri kelakuan manusia
2)
Kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu
generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3)
Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam
tingkahlakunya.
4)
Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan
kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak,
tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Berdasarkan sifat hakikat kebudayaan tersebut jelaslah bahwa
kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, yang meliputi aspek perilaku dan
kemampuan manusia, ia menjadi milik hakiki manusia di manapun berada dan
keberlangsungan suatu budaya akan sangat ditentukan oleh masyarakat pendukung
kebudayaan itu.
D.
TEORI
TEORI RELIGI
1.
Teori
Religi Dalam Kehidupan Manusia Terdahulu
Edward B Tylor
(1873), dianggap sebagai bapak antropologi, mengemukakan teori tentang jiwa; dikatakannya asal mula religi itu
adalah kesadaran manusia akan faham jiwa atau soul, kesadaran mana
yang pada dasarnya disebabkan oleh dua hal :
a. Perbedaan
yang taampak pada manusia mengenai hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati;
suatu mahluk pada satu saat dapat bergerak-gerak, berbicara, makan,
menangis, berlari-lari dan sebagainya, artinya
mahluk itu ada dalam keadaan hidup; tetapi pada
saat yang lain mahluk itu seolah-olah tidak melakukan aktifitas apa-apa, tidak
ada tanda-tanda gerak pada mahluk itu, artinya makluh itu telah mati. Demikian
lambat laun manusia mulai sadar bahwa gerak dalam alam itu, atau hidup itu,
disebabkan oleh sesuatu hal yang ada di samping tubuh-jasmani, dan
kekuatan-kekuatan itulah yang disebut sebagai jiwa.
b. Peristiwa
mimpi; dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain daripada
tempat tidurnya. Demikian, manusia mulai membedakan antara
tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian
lain dari dirinya yang pergi ketempat-tempat lain; bagian lain
itulah yang disebut sebagai jiwa.
Sifat abstrak
dari jiwa tadi menimbulkan keyakinan diantara manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmani. Pada waktu hidup, jiwa masih berangkutan dengan tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia
tidur dan waktu manusia tidak sadarkan diri (pingsan). Karena pada
suatu saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang-leyang, maka tubuh
berada dalam keadaan yang
lemah. Namun menurut Tylor. Walaupun melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat-saat
seperti tidur atau pingsan, tetap ada. Hanya pada waktu seorang
manusia mati, jiwa itu pergi melepaskan diri dari hubungan
tubuh-jasmani untuk selama-lamanya.
Dengan
peristiwa-peristiwa di atas nyata terlihat, kalau tubuh-jasmani sudah
hancur berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti abu didalam api upacara pembakaran mayat, maka jiwa yang telah merdeka lepas dari jasmani itu dapat berbuat
sekehendak hatinya. Menurut keyakinan ini maka alam semesta ini penuh dengan
jiwa-jiwa yang merdeka, dan
tidak disebut sebagai jiwa lagi,
tetapi dikatakan sebagai mahluk halus atau spirit; demikian
pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa
menjadi kepercayaan kepada mahluk-mahluk halus.
Pada tingkat
tertua di dalam evolusi religinya manusia percaya bahwa mahluk-mahluk halus
itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggal manusia. Mahluk-mahluk
halus tadi, yang tinggal dekat sekeliling tempat tinggal manusia, dianggap
bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh panca indera manusia, yang
mampu berbuat hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, mendapat suatu
tempat yang amat penting di dalam kehidupan manusia sehingga menjadi obyek
penghormatan, pemujaan, dan penyembahannya, dengan berbagai
upacara keagamaan berupa doa, sajian atau korban. Pada
tingkat religi semacam ini oleh Tylor disebut sebagai animism.
Pada tingkat
kedua di dalam evolusi religi manusia percaya bahwa gerak alam hidup itu juga
disebabkan oleh adanya jiwa yang ada di belakang peristiwa dan gejala alam itu;
sungai-sungai yang mengalir dan terjun dari gunung ke laut, gunung yang
meletus, gempa bumi yang merusak, angin taufan yang menderu,
matahari yang menerangi bumi, berseminya tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya
semuanya disebabkan oleh jiwa alam;
dalam perkembangannya kemudian, jiwa alam ini dipersonifikasikan, dianggap oleh manusia
sebagai mahluk-mahluk dengan suatu kepribadian, pikiran, dan kemauan.
Mahluk-mahluk halus yang ada di belakang gerak alam serupa ini disebut dengan
Dewa-dewa alam.
Pada tingkat
ketiga dalam evolusi religi, bersama-sama dengan timbulnya susunan kenegaraan
di dalam kehidupan masyarakat , timbul pula kepercayaan bahwa alam Dewa-dewa
itu juga hidup di dalam suatu susunan seperti kenegaraan di atas, serupa dengan
kehidupan manusia; dengan demikian seolah-olah ada suatu susunan pangkat
Dewa-dewa mulai dari raja Dewa sebagai Dewa yang tertinggi, sampai dengan
dewa-dewa yang terendah. Suatu susunan seperti itu lambat laun akan menimbulkan
suatu kesadaran bahwa semua dewa itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan
saja dari satu dewa yang tertinggi. Akibat dari kepercayaan itu adalah
berkembangnya kepercayaan kepada satu Tuhan yang Esa, dan timbulnya agama-agama
monotheisme.
2.
Teori
Agama Pada Kehidupan Manusia Kemudian
Teori-teori lain
yang berkenaan dengan asal mula religi itu, atau dasar-dasarkepercayaan manusia
yang menganggap adanya suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, dan
bentuk-bentuk usaha manusia yang mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan itu
telah menjadi perhatian menarik dari orang-orang tertentu, terutama dari kalangan
antropologi; teori-teori itu mencakup :
a.
Teori
Batas Akal
Teori religi
tentang batas akal ini dikembangkan oleh J.G. Frazer (1890)
yang berpedoman bahwa manusia dalam kehidupannya senantiasa memecahkan
berbagai persoalan hidup dengan perantaraan akal dan ilmu pengetahuan;
namun dalam kenyataannya bahwa akal dan sistem pengetahuan itu itu sangat
terbatas sekali. Makin maju kebudayaan manusia, makin luas batas akal itu,
tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia masih amat sempit. Persoalan
hidup yang tidak bisa dipecahkan dengan akal, dicoba dipecahkannya dengan
melalui magic, ialah ilmu gaib.
Magic diartikan
sebagai segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan
yang ada pada alam, serta seluruh kompleks anggapan yang ada di belakangnya;
pada mulanya manusia hanya mempergunakan ilmu gaib untuk memecehkan segala
persoalan hidup yang ada di luar batas kemampuan dan pengetahuan akalnya.
Religi waktu itu belum ada dalam kebudayaan manusia, lambat laun terbukti bahwa
banyak
dari perbuatan magic itu tidak menunjukkan hasil yang diharapkan, maka pada saat itu orangmulai
percaya bahwa alam itu didiami oleh mahluk-mahluk halus yang lebih berkuasa
darinya, maka mulailah manusia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus yang
mendiami alam itu, dan timbullah religi.
Menurut
Frazer, memang ada suatu perbedaan yang besar antara magic
dan religi; magic adalah segala sistem perbuatan dan sikap manusia untuk
mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan dan hukum-hukum
gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya, religi adalah segala sistem
perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara
menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti
ruh-ruh, dewa, dan sebagainya.
b.
Teori
Masa Krisis Dalam Hidup Individu
Pandangan
tentang masa-masa krisis ini disampaikan oleh M. Crawley (1905) dan A.Van
Gennep (1909) ; menurut ke dua orang ini, dalam jangka waktu hidupnya, manusia mengalami
banyak krisis yang menjadi sering obyek perhatian dan dianggap
sebagai suatu yang menakutkan. Betapapun bahagianya hidup orang, entah sering
atau jarang
terjadi bahwa orang itu akan ingat akan kemungkinan-kemungkinan timbulnya krisis dalamhidupnya;
krisis - krisis itu terutama berupa bencana-bencana sekitar sakit dan maut
(mati), suatu keadaan yang sukar bahkan tidak dapat dikuasai dengan segala
kepandaian, kekuasaan, atau harta benda kekayaan yang mungkin dimilkinya
Dalam jangka
waktu hidup manusia, ada berbagai masa dimana kemungkinan adanya sakit maut ini
besar sekali, yaitu misalnya saat kanak-kanak, masa peralihan dari usia pemuda ke
dewasa, masa hamil, masa kelahiran, dan akhirnya maut. Van Gennep menyebut
masa-masa itu sebagai crisis rites atau rites de passage. Dalam menghadapi
masa krisis serupa itumanusia butuh melakukan perbuatan untuk memperteguh
imannya dan menguatkan
dirinya; perbuatan-perbuatan serupa itu , yang berupa upacara-upacara pada masa krisis tadi itulah
yang merupakan pangkal dari religi dan bentuk-bentuk religi yang tertua.
c.
Teori
Kekuatan Luar Biasa
Pendirian ini
dikemukakan oleh seorang sarjana antropologi Inggris R.R. Marett; (1909) salah
satu dasar munculnya teori ini adalah sebagai sanggahan terhadap teori religi yang
dikemukakan oleh E.B. Tylor mengenai timbulnya kesadaran manusia akan jiwa; menurut
Marett, kesadaran tersebut adalah hal yang bersifat terlalu kompleks bagi
pikiranmanusia yang baru ada pada tingkat-tingkat permulaan kehidupannya di
muka bumi ini. Menurut Marett, pangkal daripada segala kelakuan agama
ditimbulkan karena suatu perasaan rendah terhadap gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai biasa dalam kehidupan manusia. Alam,
tempat gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa itu berasal, yang dianggap oleh
manusia dahulu sebagai tempat adanya kekuatan-kekuatan yang melebihi kekuatan-kekuatan
yang telah dikenal manusia dalam alam sekelilingnya, disebut the supernatural. Gejala-gejala,
hal-hal, dan peristiwa-peristiwa yang luas biasa itu dianggapakibat
dari suatu kekuatan supernatural, atau kekuatan luar biasa atau kekuatan
sakti.
Adapun
kepercayaan kepada suatu kekuatan sakti yang ada dalam gejala-gejala, hal-hal,
dan peristiwa-peristiwa yang luar biasa tadi, oleh Marett dianggap sebagai
suatu kepercayaan yang ada pada mahluk manusia sebelum ia percaya kepada mahluk
halus dan ruh; dengan perkataan lain,
sebelum ada kepercayaan animisme maka
ada satu bentuk kepercayaan lain yang oleh Marett disebutnya sebagai praeanimisme.
d.
Teori
Sentimen Kemasyarakatan
Teori ini
berasal dari seorang sarjana ilmu filsafat dan sosiologi bangsa Perancis, Emile
Durkheim (1912), pada dasarnya sama dengan R.R. Marett adalah menyanggah teori religi
yang dikemukakan oleh Tylor; serupa dengan celaan Marett tersebut di atas,
beliau beranggapan
bahwa alam pikiran manusia pada masa permulaan perkembangan
kebudayaan itu belum dapat menyadari suatu paham abstrak ‘jiwa’, sebagai suatu
substansi yang berbedadari jasmani. Kemudian Durkheim juga berpendirian bahwa
manusia pada masa itu belum dapat menyadari faham abstrak yang
lain seperti tercobaan dari jiwa menjadi
ruh apabila jiwa itu telah terlepas dari jasmani yang mati. Mendasari celaan terhadap teori animisme Tylor itu maka beliau
menyatakan suatu teori baru tentang dasar-dasar religi yang sama sekali berbeda
dengan teori-teori yang pernah dikembangkan oleh para sarjana sebelumnya. Teori
itu berpusat kepada beberapa pengertian dasar, ialah:
a)
Mahluk manusia dalam kala ia baru
timbul di muka bumi, mengembangkan aktivitasreligi itu tidak karena ia
mempunyai di dalam alam pikirannya bayangan-bayanganabstrak tentang jiwa, ialah
suatu kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak didalam alam, tetapi karena
suatu getaran jiwa, suatu emosi keagamaan, yang timbul didalam jiwa manusia
dahulu, karena pengaruh suatu rasa sentimen
kemasyarakatan.
b) Sentimen kemasyarakatan itu dalam batin manusia dahulu berupa suatu kompleks perasaan yang mengandung rasa terikat, rasa bakti, rasa cinta, dan sebagainya,terhadap
masyarakatnya sendiri, yang merupakan seluruh alam dunia dimana ia hidup.
c) Sentimen
kemasyarakatan yang menyebabkan timbulnya emosi
keagamaan, yang sebaliknya merupakan pangkal daripada segala kelakuan
keagamaan manusia itu, tentu tidak selalu berkobar-kobar dalam alam batinnya.
Apabila tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi
lemah dan laten, sehingga perlu dikobarkan kembali. Salah satu
cara untuk mengobarkan kembali sentimen kemasyarakatan adalah dengan mengadakan
suatu kontraksi masyarakat, artinya dengan mengumpulkan seluruh
masyarakat dalam pertemuan-pertemuan raksasa yang bernuansa
religius.
d) Emosi
keagamaan yang timbul karena rasa sentimen kemasyarakatan, membutuhkan suatu
objek tujuan. Sifat apakah yang menyebabkan barang sesuatu hal itu menjadiobjek
daripada emosi keagamaan bukan terutama sifat luar biasanya, bukan pula sifat anehnya,
bukan sifat megahnya, bukan sifat ajaibnya, melainkan tekanan anggapan umum
dalam masyarakat. Obyek itu salah sesuatu peristiwa kebetulan di dalam sejarah daripada
kehidupan sesuatu masyarakat di dalam waktu yang lampau
menarik perhatian banyak orang di dalam masyarakat. Objek yang menjadi tujuan emosi
keagamaan itu juga mempunyai objek yang bersifat keramat, bersifat sacre (sakral) berlawanan
dengan objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan (ritual value) itu,ialah objek yang tak
keramat atau profane (profan).
e) Objek
keramat sebenarnya tidak lain daripada suatu lambang masyarakat. Pada suku-suku
bangsa asli benua Australia misalnya, objek keramat, pusat tujuan daripada sentimen-sentimen
kemasyarakatan, sering juga sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan, tetapi sering
juga objek keramat itu berupa benda. Oleh para sarjana objek keramat itu disebut
totem (jenis binatang atau lain
objek) itu mengkonkritkan prinsip totem yang
ada di belakangnya, dan prinsip totem itu
adalah suatu kelompok tertentu di dalammasyarkat, berupa clan atau lain.
Pendirian-pendirian
tersebut pertama di atas, ialah emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan,
adalah menurut Durkheim, pengertian-pengertian dasar yang merupakan inti daripada
tiap religi; sedangkan ketiga pengertian lainnya, ialah kontraksi
masyarakat,kesadaran akan objek keramat berlawanan dengan objek tak-keramat,
dan totem sebagai lambang masyarakat, bermaksud memelihara kehidupan daripada
inti. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem akan menjelmakan (a) upacara, (b) kepercayaan dan (c) mitologi.Ketiga
unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di
dalamsesuatu masyarakat tertentu.
Susunan tiap
masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa di muka bumi yang
berbeda- beda ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk religi yang perbedaan-perbedaanya
tampak lahir pada upacara, kepercayaan, atau mitologinya.
E.
PENGARUH
UNSUR UNSUR KEBUDAYAAN TERHADAP MASYARAKAT
Unsur-unsur
kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang digunakan. Raph Linton mengemukakan bahwa
kebudayaan merupakan warisan sosial dari anggota masyarakat. Pengaruh
unsur-unsur kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat adalah :
·
Goodman dan Marx melihat kebudayaan sebagai
warisan yang dipelajari dan ditranmisikan, jadi kebudayaan dalam hal ini
berpengaruh terhadap perkembangan generasi-generasi berikutnya. Misalnya:
bahasa dari sebuah suku akan terus dipakai oleh generasi yang akan datang pada
suku tersebut.
·
M.J. Herskovits, bahwa kebudayaan
merupakan sesuatu yang superorganic, yakni individu yang tinggal pada tempat
budaya tersebut secara langsung atau tidak langsung akan memiliki dan menjadi
anggota dari kebudayaan tersebut. Misalnya:seseorang yang tinggal di sebuah
suku, maka secara otomatis akan menjadi putra suku tersebut.
·
Theodore M. Newcom, bahwa kepribadian
menunjuk pada organisasi sikap-sikap seseorang untuk berbuat, mengetahui,
berpikir, dan merasakan secara khusus. Jadi Newcomb menganggap kebudayaan lebih
ke arah keindividuan sebagai salah satu kreator dari kebudayaan. Disini
pengaruh kebudayaan adalah bagaimana seorang individu itu menerapkan dan
mengembangkan kebudayaan yang ia anut.
Dari
pengaruh-pengaruh di atas, dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur budaya
sebagai pembentuk budaya sangat berpengaruh dalam kehidupan sebuah masyarakat,
karena unsur-unsur budaya akan tetap dipakai dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Misalnya: bahasa, kesenian, dan lain sebagainya. Meskipun begitu akan
terjadi pergeseran-pergeseran dalam kebudayaan. Misalnya pada teknologi dan
mata pencaharian, namun konsep dasar dari sebuah budaya akan sulit sekali untuk
dihilangkan.
BAB 3
PEMBAHASAN
A.
SUKU
TORAJA
Suku
Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai
praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang
berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai
sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada
awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan
orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi
daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran
etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis
utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku
Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama
Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an,
kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh
pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak
tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan
tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan
mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku
Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1
juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Toraja
Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata
toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti
"orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada
tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan
peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari.
B.
AGAMA dan KEPERCAYAAN
Jauh sebelum masyarakat menganut Kristen
dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu kepercayaan yang bersifat animisme
yang bersumber dari leluhur mereka yang disebut Aluk Todolo. Pada
masa sekarang mayoritas masyarakat Toraja menganut Kristen, hanya sebagian
kecil yang menganut agama Islam.
Sebelum masuknya agama, baik kristen
maupun Islam, masyarakat Toraja menganut kepercayaan leluhur yang telah
diwariskan turun temurun sampai saat ini. Masyarakat Toraja percaya bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia mempunyai nyawa, bahkan selanjutnya nyawa
manusia hidup terus walaupun mereka sudah meninggal. Kepercayaan dalam
keseharian seperti orang yang sudah meninggal, biasanya diberi makan, minum
bahkan ada saja yang diberikan pada jam makan. Ini menandakan bahwa mereka
percaya seolah-olah si mati ini masih hidup karena selalu diberi kebutuhan
makan dan minum walaupun sudah meninggal atau ma’pakande tomate.
Kepercayaan
turun temurun dianggap sebagai agama dan kepercayaan asli dan lebih dikenal
dengan nama Aluk Todolo. Menurut L. T. Tangdilintin ajaran Aluk Todolo
(Aluk adalah agama aturan, Todolo adalah leluhur). Jadi Aluk Todolo
berarti agama leluhur. Aluk Todolo adalah salah satu bentuk kepercayaan
animisme yang beranggapan bahwa tiap benda atau batu mempunyai kekuatan dan
salah satu sistem religi yang secara religi tradisional telah dianut oleh warga
masyarakat Toraja sejak abad IX Masehi dan tetap diwariskan secara turun-temurun
hingga sekarang.
Menurut
Tangdilintin, Aluk Todolo adalah salah satu kepercayaan atau keyakinan yang
diturunkan oleh Puang Matua (Sang Pencipta). Aturan Aluk diturunkan pada Datu
Lukku yang berisi aturan agama bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus
menyembah. Penyembahan ditunjukan pada Puang Matua sebagai sang pencipta
yang diwujudkan dalam bentuk sajian. Puang Matua sebagai sang pencipta
memberi kekuasaan kepada deata-deata (sang pemelihara).
Ajaran
Aluk Todolo yang memelihara pemujaan kepada kedua aliran tersebut diatas, dalam
ajaran Aluk Todolo dikenal 3 (tiga) golongan deata yaitu:
a.
Deata
Tangga Langi Sang (Pemelihara di Langit)
b.
Deata
Kapadanganna Sang Pemelihara di Bumi
c.
Deata
Tangana Padang, pemelihara menguasai segala isi tanah.
Aluk maka manusia harus menyembah kepada
tiga aturan yaitu:
1. Puang Matua
2. Deata-Deata
3. Tomembali Puang
Berdasarkan
ketiga aluk diatas jelaslah bahwa ajaran Aluk Todolo mengkonsepsikan adanya
struktur dewa-dewa yang tersusun vertikal.
Cara
penyembahan kepada ketiga pihak diatas oleh penganut Aluk Todolo dilakukan
dengan saji-sajian persembahan. Persembahan yang dilakukan dengan cara yang
berbeda-beda sesuai tingkatannya masing-masing:
a.
Penyembahan
dilakukan terhadap sang pencipta yaitu Puang Matua sebagai upacara tertinggi
dengan mempersembahkan hewan.
b.
Persembahan
kepada sang pemelihara yaitu ditujukan kepada deata-deata (dewa-dewa) dan
mempersembahkan korban.
c.
Persembahan
kepada Tomembali Puang (pengawas) dilakukan oleh keturunannya untuk
memperingati arwah nenek moyang dan tetap dihormati.
Agama
yang dianut sejak dahulu kala bahkan sampai sekarang meskipun tidak seberapa
banyak yang disebut Aluk Todolo dapat diartikan agama. Aturan atau upacara
Todolo artinya leluhur atau nenek moyang. Jadi maksudnya adalah agama leluhur.
Menurut sejarah kebudayaan Toraja. Aluk Todolo ini telah dianut oleh suku
bangsa Toraja sejak kira-kira abad IX, yang dahulu dikenal dengan ajaran Aluk
Pitung Sa’bu Pitung Ratu Pitung Pulo atau Aluk Sanda Pitunna (ajaran
tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tuju) sebagai ajaran yang berdasarkan tujuh
asas hidup dan kehidupan. Ketujuh asas ini lahir dari asas animisme tua dengan
mendapat pengaruh dari ajaran Kofisius dan ajaran hidup hindu.
Menurut
ajaran Aluk Todolo dikenal ada tiga unsur yang disembah seperti yang diuraikan
oleh L.T. Tandilintin adalah sebagai berikut:
1.
Puang
Matua, yaitu unsur kekuatan yang paling tingg sebagai pencipta segala isi Bumi.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa penciptaan makhluk hidup ada delapan unsur yang
diciptakan, yaitu nenek manusia bernama La Ukka, nenek kerbau bernama
Manturuni, nenek ayam bernama Lamem, nenek kapas bernama La Ungku, nenek hujan
bernama Pong pirik-pirik, nenek besi bernama Irako, dan nenek racun bernama
Marrante.
2.
Deata-deata,
ialah unsur yang diberikan tugs oleh Puang matua untuk memelihara dan menguasai
bumi. Secara umum deata-deata tersebut dapat dibagi atas tiga yaitu:
a. Deata Tangngana Langik (menguasai
dan memelihara langit dan cakrawala)
b. Deata Kapadangan (menguasai dan
memelihara seluruh isi permukaan Bumi)
c. Deata Tangngana (menguasai dan
memelihara segala isi tanah, sungai, dan laut).
3.
Tomembali
Puang disembah dengan upacara yang dilaksanakan disebelah barat (Tongkonan atau
Tongkonan Layuk) atau disekitar kubur dimana mayat dikuburkan, dengan korban
persembahan berupa babi dan ayam.
C.
JENIS-JENIS RITUS
Jenis-jenis
upacara ritual dimasyarakat Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok
upacara rambu tukak (upacara yang berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu
solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara
yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu
kelompok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada
kelompok yang lain.
a.
Upacara Rambu Tukak
Upacara
rambu tukak adalah yang berkaitan dengan kesyukuran, kesukaan, kelahiran,
perkawinan dan keberhasilan panen, yang diatur dalam Aluk Rampe Mataallo
(aturan upacara yang dilakukan pada saat terbit sampai tengah hari) dengan
tempat pelaksanaan selalu berada disebelah timur Tongkonan atau orientasinya
kearah timur. Tingkatan-tingkatan upacara Rmbu Tukak adalah sebagai berikut:
1)
Kapuran
Pangngan (penyajian sirih dan pinang) biasanya dilakukan dirumah tempat
tertentu seperti rumah dengan medium adalah menhir. Tujuannya adalah untuk
menghajtkan bahwa sesuatu kelak akan mengadakan upacara tertentu.
2)
Piong
Sanglampa (persembahan satu batang lemang) yang diletakkan dipematang sawah
atau persimpangan jalan yang dialasi dengan pisang, biasanya ditempatkan pada
suatu bongkahan batu, altar, atau dibawah pohon, dengan maksud sebagai tanda
bahwa dalam waktu dekat akan diakan upacara persembahan kurban agar para
deata dan tomembali puang dapat memberi keselamatan.
3)
Menammu,
yaitu suatu upacara dengan kurban berupa ayam, babi yang ditujukan kepada
Deata-deata yang menguasai suatu daerah dengan harapan untuk memperoleh
keselamatan dan keberhasilan panen.
4)
Makpakande
Deata diong Padang, yaitu upacara kurban yang mempersembahkan seekor babi atau
lebih yang dilaksanakan didepan rumah sisi timur. Biasanya sesajen diletakkan
didepan menhir (basse) yang terdapat pada sudut timurlaut Tongkonan. Tujuannya
untuk keselamatan manusia yang tinggal dirumah Tongkonan.
5)
Massurak Tallang. Yaitu upacara yang dilakukan
setelah semua tingkatan upacara tersebut telah dilakukan, dengan tujuan sebagai
tanda ucapan syukur kepada dewa atas keselamatan dan keberhasilan panen. Korban
persembahan yaitu beberapa ekor babi dan ayam.
6)
Merok
yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua dengan korban persembahan utama
adalah kerbau, babi dan ayam. Tujuannya yaitu sebagai tanda syukur tas
keselamatan, keberhasilan panen, selesainya pembangunan Tongkonan atau
peresmian To MembaliPuang menjadi Deata.
7)
Upacara
menolak balah, terdiri dari : a) massalu-salu, yaitu upacara yang bertujuan
menghindari cobaan dari penyakit atau rintangan dalam melakukan sesuatu, b)
makdampi, yaitu upacara pengobatan terhadap orang sakit, c) makbungi yaitu
upacara mengelilingi desa untuk memohon kepada deata keselamatan dari
malapetaka yang sementara menimpa masyarakat.
b.
Upacara Rambu
Solok
Upacara
rambu solok adalah upacara yang berkaitan dengan kematian dan kedukaan, yang
diatur dalam Aluk Rampe Matampu (aturan upacara yang dilaksanakan pada sore
hari). Kebanyakan dinyatakan dalam upacara Rambu Solok merupakan suatu
peristiwa yang mengandung dimensi religi dan sosial. Berdasarkan stratifikasi
sosial maka upacara kematian di Tana Toraja dapat dibagi atas empat yaitu:
1) Upacara dislilik, yaitu upacara
kematian bagi masyarakat dari tanak kua-kua. Mayat tidak boleh disimpan
bermalam dirumah dan dikuburkan pada sore hari atau malam hari. Bagi yang tidak
mampu secara ekonomis biasanya tanpa disertai dengan korban dan bagi yang mampu
disertai dengan korban beberapa telur ayam saja atau beberpa ekor ayam dan
babi. Mayat dikuburkan digua alam (Liang Sillik) dengan hanya dibalut
kain tanpa mempergunakan wadah erong. Untuk bayi yang mati sebelum tumbuh
giginya, biasanya disillik (dikuburkan) diselah-selah akar atau didalam batang
pohon beringin yang dilubangi.
2) Upacara dipasangbongi, yaitu upacara
kematian yang hanya berlangsung satu malam terutama bagi masyarakat yang
berasal dari tanak karurung, atau dari tanak bassi dan bulaan yang tidak mampu
secara ekonomis. Korban yang dipersembahkan adalah minimal empat ekor babi dan
maksimal delapan ekor kerbau. Mayat yang dikuburkan di Liang memakai erong,
biasanya bentuk erong yang dipergunakan ialah bentuk persegi panjang.
3) Upacara didoya, yaitu upacara
kematian yang berlangsung tiga malam, lima malam atau tujuh malam, terutama
masyarakat yang berasal dari tanak bassi yang mampu secara ekonomis atau tanak
bulaan atau para keluarga bangsawan tertinggi yang mampu secara ekonomis. Selama
berlangsungnya upacara tersebut, maka peserta upacara tidak boleh tidur semalam
suntuk (didoya). Korban yang dipersembahkan adalah beberapa ekor babi (biasanya
sampai ratusan ekor), dan minimal tiga dan maksimal 12 ekor kerbau. Tempat
pelaksanaan upacara ialah rumah atau tongkonan masing-masing, kecuali kalau
yang mati berasal dari bangsawan tinggi (tanak bulaan) maka harus diupacarakan
di Tongkonan Layuk dan Rante Simbuang.
4) Upacara dirapai atau rapasan, yaitu
upacara kematian bagi yang berasal dari tanak bulaan yang berlangsung minimal
tujuh hari tetapi dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan lamanya
tergantung kesepian dan kesepakatan keluarga. Upacara rapasan terdiri dari
beberapa tahapan dan memakan waktu yang lama dengan minimal persembahan korban berupa
kerbau sebanyak 12 ekor.
D.
PROSES
UPACARA RAMBU SOLO’
Untuk
menghadapi dan mempersiapkan upacara adat Rambu Solo’, didahului oleh beberapa
aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara adat tersebut.
Kegiatan-kegiatan pendahuluan sebelum upacara itu dilaksanakan, yakni acara
pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan
upacara, dan persediaan kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal
itu, baru dilaksanakan upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan
berdasarkan keyakinan aluk todolo.
1. Pertemuan Keluarga
Pertemuan
keluarga orang yang meninggal, adalah pertemuan seluruh keluarga dari pihak ibu
dan pihak ayah. Pertemuan itu bertujuan segala sesuatu yang berkaitan dengan
rencana upacara pemakaman keluarganya yang meninggal.
Menurut
Tangdilintin hal-hal yang dibicarakan pada pertemuan itu, antara lain seperti
masalah ahli waris, tingkat upacaranya, persiapan upacara/tingkat upacara mana
yang akan dilakukan, persediaan hewan-hewan kurban sekaligus memperhatikan
status sosial atau kasta orang yang meninggal tersebut.
Pertemuan
keluarga itu, berupaya untuk mengambil keputusan dan harus disetujui oleh semua
pihak utamanya ahli waris/keturunannya. Pertemuan seperti itu juga dihadiri
oleh ketua-ketua adat dan pemerintah. Secara rinci keputusan yang harus diambil
dalam pertemuan keluarga itu, adalah pertama penentuan/kesepakatan tentang
tingkat upacara pemakaman. Tingkat upacara itu disesuaikan dengan kemampuan
menyediakan hewan kurban dan strata sosial orang yang meninggal. Tingkat
upacara itu disesuaikan dengan kemampuan menyediakan hewan kurban dan strata
sosial orang yang meninggal. Kedua penentuan jumlah hewan kurban berdasarkan
hewan-hewan yang disiapkan oleh ahli waris maupun bukan ahli waris. Ketiga,
juga disepakati mengenai tempat pelaksanaan upacara, misalnya rumah
tempat meninggalnya atau ditetapkan ditongkonan. Keempat membicarakan mengenai
persiapan pondok upacara. Persiapan itu yang disiapkan sepenuhnya oleh keluarga
inti, tapi ada juga disiapkan oleh tiap-tiap keluarga ahli waris dan bukan ahli
waris. Persiapanpondok-pondok upacara dikerjakan secara gotong royong dibantu
masyarakat sekitar.
2. Pembuatan Pondok Upacara
Pembuatan
pondok upacara ada dua macam, yakni pondok upacara dihalaman rumah orang yang
meninggal dan pondok upacara dihalaman dilapangan upacara. Pondok-pondok itu
diatur secara teratur mengelilingi tempat jenazah (tempat mengatur acara
pemakaman), yang diatur oleh petugas-petugas upacara. Termasuk dalam hal ini
penyiapan pondok-pondok tempat menginap para tamu.
Pondok-pondok
yang dibangun tersebut, juga harus disesuaikan dengan kasta tau strata sosial
orang yang akan diupacarakan. Itulah sebabnya sehingga setiap upacara pemakaman
(setiap kelompok keluarga) terlihat perbedaan-perbedaan ragam hias pada
pondoknya, misalnya ada yang berukir, menggunakan/memasang longa (bangunan
menjulang tinggi).
3. Persediaan Peralatan Upacara
Persediaan
alat-alat upacara, termasuk alat yang berkaitan dengan upacara, peralatan
makan, peralatan tidur dan lain-lain. Dalam kaitan dengan peralatan upacara
misalnya perhiasan-perhiasan, alat saji dan kurban. Menurut Tangdilintin
peralatan-peralatan upacara yang tidak boleh kurang dan semestinya, seperti
tombi-tombi, gendang, bombongan dan beberapa macam pandel atau bendera upacara.
Termasuk dalam persiapan ini adalah Tau-tau (patung orang yang meninggal),
khususnya dalam upacara tingkat Rapasan.
4. Petugas Upacara
Petugas-petugas
upacara pemakaman di Toraja dikenal dengan istilah “Petoe Aluk To Mate”.
Petugas-petugas itu disebutkan oleh Tangdilintin yakni; To Mebalun atau To
Ma’kayo atau Tomebakka. Adalah orang yang mempunyai tugas tetap memimpin dan
membina upacara pemakaman. Orang itulah pada saat upacara berlansung pemegang
acara yang selalu ditandai dengan bunyi gendang termasuk membacakan mantra. To
Ma’pemali, yaitu orang yang khusus merawat dan melayani jenazah dan menjaganya
selama upacara berlansung. Orang itu tidak lepas duduknya dari sisi jenazah
dengan menggunakan penutup kepala. Tugas itu harus diemban oleh keluarga
terdekat seperti suami kalau istri yang meninggal dan sebaliknya. To Ma’kuasa,
orang yang tugasnya sebagai pembantu umum dalam pelaksanaan upacara. Petugasnya
biasanya dari kasta terendah (kua-kua).
Petugas
selanjutnya, adalah To Ma’sanduk Dalle, yaitu seorang wanita yang khusus
melakukan pekerjaan untuk menyiapkan nasi bagi jenazah yang akan dimakamkan.
Petugas itu juga biasanya dari biasanya dari kasta rendah. To dibulle Tangnga,
yaitu seorang wanita yang bertugas khusus menghubungkan antara petugas-petugas
upacara lain dan kaitannya sajian-sajian. To sipalakuan, yaitu orang bertugas
mengurusi semua kebutuhan perawatan jenazah dan kebutuhan upacara. To
Ma’toe Bia’, yaitu seorang laki-laki yang bertugas menyalakan api dan memegang
obor selama upacara berlangsung. To Masso’boi Rante, yaitu seorang wanita yang
bertugas membuka jalan masuk dihalaman atau lapangan upacara rante. To
Mangengnge Baka Tau-tau, yaitu orang yang khusus membawa tempat pakaian dari
pada patung.
5. Peralatan-peralatan Upacara
Pemakaman
a)
Tombi
saratu, yaitu fandel dari kain panjang yang bercorak-corak seragam besarnya
coraknya menggambarkan keagungan dan ketinggian upacara pemakaman dn hanya
digunakan oleh kasta bangsawan tinggi Toraja.
b)
Tombi-tombi,
yaitufandel dari kain panjang kecil yang mengartikan bahwa upacara ini didukung
oleh keluarga dari semua lapisan, baik keluarga tinggi maupun keluarga besar
sama-sama mempunyai kewajiban dan pengabdian.
c)
Tombi
Tarun-Tarun, yaitu fandel yang terbuat dari potongan-potongan kain yang disambung-sambung
bermakna bahwa upacara pemakaman ini bercita-cita akan mencapai kesempurnaan
dan turunannya akan mendapat keberuntungan.
d)
Tuang-tuang,
yaitu tanda upacara sebagai upacara Aluk Todolo yang menganut ajaran turun
temurun dalam membina arwah leluruh dalam empat penjuru alam.
e)
Sarita
sebagai lambang ketenangan dan kesabaran dalam pengabdian kepada orang tua.
f)
Maa’
yaitu kain ukir menggambarkan kemuliaan dan keagungan dari orang Toraja.
g)
Gandang/gendang
yaitu gendang yang dipukul sebagai pengatur dan tanda peralihan acara-acara
pemakaman.
h)
Bombongan
yaitu gong yang ditabu menandakan tangis kepiluan bagi keluarga-keluarga
bangsawan orang Toraja sebagai tanda, yang terus menerus dibunyikan pada waktu
upacara berlansung.
i)
Disamping
peralatan-peralatan tersebut masih ada beberapa peralatan/ perhiasan pusaka
yang dipakai pada dekorasi pondok-pondok upacara, antara lain keris yang
disebut gayang, manik-manik dan lain-lain.
E.
PELAKSANAAN UPACARA RAMBO SOLO’
1. Hari Pertama.
Upacara
pada hari pertama disebut Ma’kru’dusan. Dalam upacara ini dilakukan kurban
hewan pertama. Pada hari itu juga dilakukan perubahan letak jenazah dan
sekaligus pada saat itu juga berubah status mayat sebagai To Makula menjadi
orang yang benar-benar dianggap telah meninggal. Pada hari itu dikuburkan
kerbau dan babi. Acaranya dimulai pada sore hari hingga malam bahkan berlansung
semalam suntuk dengan menyaksikan nyanyian-nyanyian duka yang dilakukan
berbentuk seni bernyanyi yang disebut Ma’badong.
2. Hari Kedua.
Upacara
hari kedua disebut Ma’doya tangnga. Pada hari itu keluarga yang berduka mulai
menerima tamu-tamu dari berbagai unsur-unsur dan kedatangan tamu itu secara
rombongan/sesuai adat. Tamu-tamu yang datang biasanya berkelompok, pada saat
itu juga ada diantara keluarga yang datang membawa sumbangan berupa kerbau,
babi, makanan bahkan ada yang membawa uang. Dalam kelompok itu ada juga yang
tidak membawa apa-apa, namun dalam pelayanannya tetap disamakan. Kedatangan
tamu dari seluruh unsur masyarakat dan pihak keluarga dalam arti yang seketurunan
pada saat upacara itu, menunjukkan kegotongroyongan yang sangat tinggi pada
masyarakat Toraja yang diikat oleh upacara tersebut.
Dalam
upacara itu dilakukan adat Mantaa, yaitu kurban kerbau atau babi termasuk
kerbau yang dibawa oleh pihak keluarga sebagai sumbangan. Pihak keluarga yang
membawa sumbangan mendapat bahagian daging sebagai tanda telah menyumbang bagi
keluarga yang berduka. Sumbangan itulah yang kemudian nantinya menjadi tanggung
jawab moral keluarga yang berduka, karena kemudian ketika keluarga yang
menyumbang berduka, maka secara adat dan kebiasaan juga berupaya menyumbang
dengan nilai yang kurang lebih sama dengan sumbangan yang diterimanya. Walaupun
secara adat pemberian itu bukan merupakan utang seperti layaknya utang
piutang dimasyarakat.
Sama
halnya dengan malam pertama, pada hari kedua ini upacara juga biasanya
dilakukan semalam suntuk yang diselingi oleh nyanyi-nyanyian duka dan hiburan
Ma’badong. Ma’badong itu sendiri dipahami sebagai sanjungan kepada arwah dan
sekaligus bernilai doa bagi orang yang meninggal. Pemberian sumbangan oleh
pihak keluarga dalam upacara itu juga berfungsi sebagai sarana pengikat persaudaraan
atau tanda adanya hubungan kekerabatan yang dekat.
3. Hari Ketiga
Upacara
pada hari ketiga ini ada dua aktivitas yaitu acara Ma’bolong dan Ma’batang.
Cara Ma’bolong adalah mengadakan kurban sajian babi pada pagi hari di suatu
tempat/rante oleh To Mebalun dengan menghitamkan pakaian secara simbolis. Makna
simbolisnya adalah bahwa seluruh kerabat keluarga bahkan masyarakat
disekitarnya pada hari itu dalam keadaan berkabung. Pada saat itu seluruh
keluarga dinyatakan Maro’ yaitu simbol berkabung dengan tidak memakan nasi
beras padi dan memakai pakaian hitam. Acara Ma’batang yaitu mengadakan kurban
dilapangan upacara/rante diikuti oleh pembacaan mantra dari atas menara daging
yang disebut upacara Bala’kayan yang berfungsi sebagai mimbar atau panggung upacara
aluk rambu solok yang dilakukan oleh penghulu aluk todolo. Isi mantrayang
dibacakan adalah sebagai pengagungan terhadap leluhur yang menciptakan aluk
todolo dan ungkapan rasa syukur kepada dewata.
4. Hari Keempat
Acara
yang menonjol pada hari itu adalah jenazah yang telah dibungkus (ma’balun)
diatas rumah dimasukkan dalam suatu peti kayu yang namanya Rapasan. Peti kayu
itu terbuat dari kayu yang sudah mati kemudian ditebang, karena itu biasa juga
disebut kayu mate.
BAB 4
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Jauh
sebelum masyarakat menganut Kristen dan Islam, di Toraja telah dikenal suatu
kepercayaan yang bersifat animisme yang bersumber dari leluhur mereka yang
disebut Aluk Todolo. Pada masa sekarang mayoritas masyarakat
Toraja menganut Kristen, hanya sebagian kecil yang menganut agama Islam.
Jenis-jenis
upacara ritual dimasyarakat Toraja dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok
upacara rambu tukak (upacara yang berkitan dengan kehidupan) dan upacara rambu
solok (upacara yang berkaitan dengan kematian). Pelaksanaan jenis-jenis upacara
yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu
kelompok harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memulai upacara pada
kelompok yang lain.
Untuk
menghadapi dan mempersiapkan upacara adat Rambu Solo’, didahului oleh beberapa
aktivitas yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan upacara adat tersebut.
Kegiatan-kegiatan pendahuluansebelum upacara itu dilaksanakan, yakni acara
pertemuan keluarga, pembuatan pondok-pondok upacar, menyediakan peralatan
upacara, dan persediaan kurban-kurban dalam upacara. Setelah rangkaian awal
itu, baru dilaksanakan upacara yang sebenarnya sesuai tahapan-tahapan
berdasarkan keyakinan aluk todolo.
B.
SARAN
Sebaiknya
agar segenap masyarakat dan pemerintah mau memperhatikan berbagai kebudayaan
yang melekat ditengah-tengah masyarakat terutama budaya-budaya yang berkenaan
hasil warisan leluhur. Karena dapat menjadi penopang bagi perkembangan
kebudayaan lokal dan nasional untuk dikenal keseluruh dunia.
LAMPIRAN
Berikut
beberapa potret adat dan kebudayaan Tana Toraja termasuk Upacara Adat Rambu
Solo
Ø Desa
adat Kete Kesu terletak di kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna Malenong Toraja
Utara, sekitar 14 km dari kota Rantepao
Ø Tradisi
Ma’nene di Tana Toraja.
Ma’nene, begitu kata orang Toraja. Apa itu? Itu adalah mayat
yang telah diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang
disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati biasanya
diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di sana.
Ø Salah
satu tarian upacara adat Tana Toraja
Ø Proses upacara Rambu Solo
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah Teori Antropologi I.
Jakarta : Universitas Indonesia.
Syarbaini,
Syahrial. Rusdiyanta, dan Fatkhuri. 2012. Konsep
Dasar Sosiologi & Antropologi.
Jakarta : Hartomo Media Pustaka.
Tangdilintin, L.T. Upacara
Pemakaman Adat Toraja. Toraja, 1980.
Harsoyo. (1999). Pengantar
Antropologi; Bandung: Penerbit Putra A Bardin
Koentjaraningrat. (1987). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat.
(1990). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT. Dian Rakyat
http://irwan-adab.blogspot.com/2013/12/agama-dan-kepercayaan-suku-toraja.html
Balai Pelestarian Nilai Budaya. 2014. RAPASAN: UPACARA PEMAKAMAN BAGI KASTA TANA’ BULAAN DI TANA TORAJA. Makassar : Jurnal WALASUJI Volume 5, No. 2,
Desember 2014: 225—238.
Diks Sasmanto
Pasande.2013. BUDAYA LONGKO'
TORAJA DALAM PERSPEKTIF ETIKA LAWRENCE KOHLBERG.
Jurnal Filsafat Vol. 23, Nomor 2, Agustus 2013.
Nurhalimah.
2015. eJournal
Ilmu Pemerintahan, 3, (1) 2015 : 239-252 ISSN 0000-0000,
ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id .
Nasrudin.
2013. TEORI MUNCULNYA RELIGI (Tinjaun Antropologis
terhadap Unsur Kepercayaan dalam Masyarakat). Makassar
: Jurnal
Adabiyah Vol. XIII nomor 1/2013.
Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 2013. ANTROPOLOGI INDONESIA Journal of Social and
Cultural Anthropology.
Jakarta : ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013..